Jakarta, 12 Maret 2021 – Hasil survei Katadata Insight Center (KIC) menunjukkan sekitar separuh kaum muda berusia 19 – 38 tahun, masih belum bersedia dan ragu untuk divaksinasi Covid-19.
Sekitar 87,4 persen dari total responden tersebut merupakan kelompok usia muda di kisaran 19 – 38 tahun. Perinciannya: generasi Z (29,6%), Generasi Y (57,8%), Generasi X (11,6%) dan Baby Boomer 1%. Dari sisi jenis kelamin: 62% laki-laki dan 38% perempuan.
Manajer Riset Katadata Insight Center (KIC), Vivi Zabkie menyebutkan bahwa semakin muda usia, jumlah responden yang belum bersedia divaksinasi semakin meningkat. Pada generasi Y (usia 23 – 38 tahun) atau dikenal dengan julukan kelompok milenial, sebanyak 45,9 persen belum bersedia divaksinasi yang terdiri atas 33,7 persen belum memutuskan dan 12,2 persen menolak divaksinasi.
Pada kelompok lebih muda (generasi Z, usia 19-22 tahun), proporsi yang belum bersedia divaksinasi semakin bertambah menjadi 51,7 persen. Jumlah ini terdiri atas 36,9 persen responden masih ragu dan 14,8 persen responden menolak divaksinasi.
Kondisi ini berbeda dengan kelompok yang berusia lebih tua. Semakin tua usia responden, maka proporsi yang enggan divaksinasi semakin sedikit. Pada Generasi X (usia 39-54 tahun) yang belum bersedia divaksinasi sebanyak 34,9 persen dan pada generasi Baby Boomer (55 – 74 tahun) yang belum bersedia divaksinasi sebanyak 23,7 persen.
“Generasi X dan Baby Boomer cenderung lebih banyak yang mau divaksinasi,” kata Vivi dalam webinar yang digelar Katadata dengan tema “Jalan Panjang Menuju Herd Immunity,” Jumat (12/3/2021).
Vivi menjelaskan sejumlah alasan mengapa kelompok usia muda justru lebih banyak yang enggan divaksinasi. Menurut dia, faktor kekhawatiran terhadap efek samping (46,8%) dan keamanan (43,2%) menjadi alasan utama keraguan ikut vaksinasi.
Sedangkan, seperempat responden juga mengaku tidak bersedia dan ragu divaksinasi karena tidak percaya pada efektivitas vaksin, takut menjadi kelinci percobaan, serta menyakini ada alternatif lain untuk mengakhiri pandemi.
Sementara, mereka yang menyatakan bersedia divaksinasi memiliki sejumlah alasan: ingin diri dan keluarga terlindungi dari Covid-19 (69,8% dan 55,3%). Vaksin sudah lolos uji BPOM (35,7%) dan bersertifikat halal (32,3%) juga menjadi alasan kesediaan vaksinasi.
Vivi mengungkapkan meskipun kesediaan warga mengikuti program vaksinasi di kisaran 50-an persen, angka ini sebetulnya sudah meningkat dibandingkan pada saat vaksin belum dinyatakan lolos uji klinis dan diizinkan oleh Badan POM. Hasil urvei KIC pada Agustus – September 2020 yang dilakukan melalui survei tatap muka, hanya 27,5 persen responden yang bersedia divaksinasi.
“Kala itu, uji klinis belum selesai, belum ada izin BPOM. Akibatnya, keyakinan terhadap keamanan dan efektivitas vaksin memang jadi faktor utama yang menentukan keputusan orang belum bersedia mengikuti vaksinasi,” ujar Vivi.
Faktor Pengaruh dan PR Herd Immunity
Survei tahap kedua secara online ini juga menguji beberapa hal yang mempengaruhi perilaku atas vaksinasi Covid-19. Peran tokoh agama salah satunya. “Kami menanyakan, bagaimana responden menyikapi jika tokoh agama mengajak vaksinasi. Hasilnya 60,4 persen responden mengatakan bersedia mengikutinya. Namun jika ajakan tokoh agama menolak vaksinasi, hanya 15,1 persen responden yang mengikutinya,” jelas Vivi.
Faktor pengaruh juga digali melalui analisis regresi logistik. Analisis ini menemukan bahwa orang yang percaya keamanan vaksin, 3 kali lipat berpeluang setuju divaksinasi dibanding yang tidak percaya. Orang yang tidak percaya hoaks, 2,6 kali lipat lebih berpeluang bersedia divaksinasi dibandingkan orang yang percaya hoaks. Sedangkan, orang yang paham tentang sains lebih berpeluang bersedia divaksinasi 1,5 kali lipat dibandingkan yang tidak paham.
Analisis ini juga menguji beberapa profil lain, seperti kepatuhan pada protokol kesehatan, latar pendidikan hingga pilihan politik. Vivi berharap hasil analisis ini bisa menjadi bahan pertimbangan bagi stakeholder terkait dalam menyusun strategi sosialisasi program vaksinasi sehingga sukses mengantarkan Indonesia mencapai herd immunity.
“Apalagi bagi kaum muda yang cenderung enggan divaksinasi. Kelompok ini juga perlu perhatian khusus dalam menentukan target sosialisasi vaksin,” kata Vivi.
Terkait dengan pencapaian herd immunity, KIC juga telah melakukan analisis terhadap sejumlah data untuk mengetahui kemungkinan pencapaian kekebalan kelompok tersebut. Dari hasil analisis tersebut, Data Analyst KIC, Nazmi Haddyat Tamara menyebutkan bahwa kecepatan vaksinasi dan jumlah peserta yang disuntikkan vaksin setiap harinya, sangat berpengaruh pada jangka waktu pencapaian herd immunity.
“Dengan jumlah vaksinasi dan kecepatan saat ini, waktu pencapaian target herd immunity akan terpengaruh. Target kekebalan kelompok pada akhir tahun ini, sulit tercapai. Mereka yang menolak divaksinasi juga akan mempengaruhi target ini. Semoga saja, tidak terjadi hambatan dalam proses penyediaannya,” kata Nazmi. Dia menekankan bahwa proses ini akan banyak terbantu jika jumlah peserta vaksinasi harian serta kecepatan ditingkatkan.
Vaksinasi Mandiri
Survei KIC juga menggali respon rencana vaksinasi mandiri. Vivi mengatakan 62,9 persen responden yang bersedia divaksinasi tidak mau jika harus membayar sendiri vaksin Covid-19 (vaksinasi mandiri). Sedangkan, sebanyak 37,1 persen lainnya bersedia membayar.
Pada survei sebelumnya (Agustus -September 2020), KIC jmenemukan harga yang diharapkan konsumen jika vaksin suatu saat disediakan secara komersial. Dengan menguji harga dengan menggunakan metode Price Sensitivity Meter (PCM) harga yang dapat diterima oleh masyarakat berkisar Rp 60 ribu – 325 ribu. Sedangkan, harga paling optimal yang bisa menjembatani konsumen dengan penyedia vaksin (Optimal Price Point) berada pada Rp 200 ribu.
Seluruh hasil survei dan analisis dapat diakses dan diunduh melalui https://katadata.co.id/setahun-pandemi.