Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) kembali memberikan opini wajar tanpa pengecualian alias WTP atas laporan keuangan pemerintah pusat (LKPP). Presiden Joko Widodo mengatakan, WTP ini merupakan yang kelima kalinya secara berturut-turut, sejak 2016.
Pemerintah, tetap berkomitmen untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas LKPP di tengah pandemi corona. "WTP ini merupakan pencapaian yang baik di tengah tahun yang berat," kata Jokowi di Istana Negara, Jakarta, Jumat (25/6).
Namun, predikat WTP bukan menjadi tujuan akhir. Pemerintah ingin memastikan uang rakyat digunakan dengan sebaik-baiknya dan dikelola dengan transparan dan akuntabel. Setiap rupiah yang dibelanjakan betul-betul dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Karena itu, pemerintah akan memerhatikan rekomendasi BPK dalam mengelola pembiayaan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Defisit anggaran pun menggunakan sumber pembiayaan yang aman, dilaksanakan secara responsif, serta mendukung kebijakan counter cylical.
Kepala Negara memastikan pembiayaan akan dikelola secara hati-hati, kredibel, dan terukur. Selama pandemi, pemerintah telah berbagai perubahan APBN. Realokasi anggaran pun dilakukan di seluruh jenjang pemerintahan.
Defisit APBN juga dapat melebar di atas 3% selama tiga tahun. "Pelebaran defisit harus kita lakukan mengingat kebutuhan belanja negara makin meningkat untuk penanganan kesehatan dan perekonomian," ujar dia.
Dengan kebijakan tersebut, Jokowi berpendapat pemerintah berhasil menangani peningkatan belanja kesehatan sekaligus menjaga perekonomian Indonesia. Terbukti, pertumbuhan ekonomi Indonesia membaik dari minus 5,32% pada kuartal II 2020 menjadi terkontraksi 0,74% pada kuartal I 2021.
Hasil Pemeriksaan BPK
Ketua BPK Agung Firman Sampurna mengatakan, telah melaksanakan pemeriksaan atas 86 laporan keuangan kementerian lembaga (LKKL) dan laporan keuangan bendahara umum negara (LKBUN). Dari pemeriksaan itu, dua kementerian/lembaga mendapatkan opini wajar dengan pengecualian, sedangkan 84 LKKL dan LKBUN dengan opini WTP.
Namun, terdapat sejumlah permasalahan yang diungkap dalam LHP LKPP 2020. "Permasalahannya mencakup ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan dan kelemahan sistem pengedalian intern," ujar dia.
Permasalahan itu terkait program penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional (PC PEN) serta program non-PC PEN. Masalah terkait PC PEN, misalnya, pemerintah belum menyusun mekanisme pelaporan kebijakan keuangan negara untuk menangani dampak pandemi pada LKPP.
Kemudian, realisasi insentif dan fasilitas perpajakan dalam rangka PC PEN 2020 tidak sesuai ketentuan.
Sedangkan masalah di luar program PC PEN, seperti penatausahaan piutang pajak pada Direktorat Jenderal Pajak belum memadai. Selain itu, pelaporan beberapa transaksi pajak belum lengkap menyajikan hak negara minimal sebesar Rp 21,57 triliun dan US$ 8,26 juta.