Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah mengeluarkan izin penggunaan darurat (EUA) obat-obatan untuk pasien Covid-19 di Indonesia. Sejauh ini, baru dua jenis zat aktif yang resmi dapat izin, yaitu remdesivir dan favipiravir.
Kepala BPOM Penny Lukito menyampaikan hal tersebut dalam rapat kerja Komisi IX DPR dengan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dan Menteri Keuangan Sri Mulyani pada Senin lalu.
Obat-obatan yang disetujui BPOM disebut sudah sesuai dengan prosedur. Dari dua zat aktif tersebut, terdapat 12 obat virus corona yang telah mendapatkan EUA.
Pertama, pada kategori zat aktif atau bentuk persediaan remdesivir, yaitu Remidia, Cipremi, Desrem, Jubi-R, Covifor, Remdac. “Serta, Remeva, kategori zat aktif Remdesivir larutan konsentrat untuk infus,” kata Penny.
Kedua, pada kategori zat aktif favipiravir, tablet salut selaput terdapat Avigan, Favipiravir, Favikal, Avifavir, dan Covigon.
Berapa Harga Obat-obatan Covid-19 Tersebut?
Melansir laman Kementerian Kesehatan RI, seiring lonjakan kasus, permintaan obat terapi Covid-19 jadi tinggi. Hal ini dimanfaatkan oleh sebagian pelaku usaha untuk menaikan harga jual obat kepada masyarakat.
Akhirnya, Menteri Budi menetapkan harga eceran tertinggi atau HET obat terapi virus corona. Langkah ini guna mengatur harga obat di pasaran agar tidak merugikan masyarakat.
“Harga eceran tertinggi ini merupakan harga jual tetinggi obat di apotek, instalasi farmasi, rumah sakit, klinik dan fasilitas kesehatan yang berlaku di seluruh Indonesia,” katanya pada Sabtu lalu.
Budi mengimbau masyarakat agar tidak membeli obat tersebut secara bebas, termasuk melalui platform daring secara ilegal. “Selain mencegah lonjakan harga, pengaturan ini dilakukan untuk kepentingan masyarakat,” ujarnya.
Tidak Ada Ivermectin dalam Daftar Obat Covid-19 BPOM
Pada 2 Juli 2021, BPOM sempat menggelar konferensi pers membahas penggunaan Ivermectin dalam mengobati virus corona. Peny mengatakan, penggunaan Ivermectin untuk indikasi Covid-19 hanya digunakan dalam kerangka uji klinis.
“Uji klinis ini diperlukan untuk memperoleh data yang valid bahwa obat ini memang signifikan dalam mengobati Covid-19,” ujar Penny.
Uji klinis tersebut tengah dilakukan di delapan rumah sakit di Indonesia. Dengan demikian, para ahli belum bersepakat mengenai manfaat serta dampaknya.
Pemakaian obat tersebut di luar skema uji klinis hanya dapat dilakukan sesuai dengan pemeriksaan dan diagnosis dari dokter. “Jika dokter memberikan Ivermectin kepada pasien, maka penggunaannya harus sesuai dengan protokol uji klinis yang disetujui,” katanya.
Penny mengimbau agar masyarakat bijak dan hati-hati dalam mengonsumsi obat-obatan dalam pengobatan Covid-19. “Masyarakat juga harus memahami, obat keras harus diperoleh dengan resep dokter,” ujarnya.
Pro Kontra Ivermectin, Bagaimana Penelitiannya?
Pada 17 Juni 2021, American Journal of Therapeutics mengeluarkan studi Ivermectin untuk Pencegahan dan Pengobatan Infeksi Covid-19. Penelitian ini dipimpin oleh Andrew Bryant, seorang peneliti di University of Newcastle, Australia.
Penelitian ini menganalisis tingkat kematian di antara orang-orang yang diberi Ivermectin dibandingkan dengan yang tidak. Kesimpulannya, obat ini memungkinkan mengurangi risiko besar kematian akibat Covid-19.
“Menggunakan ivermectin di awal perjalanan klinis dapat mengurangi jumlah yang berkembang menjadi penyakit parah. Keamanan yang nyata dan biaya rendah menunjukkan bahwa Ivermectin cenderung memiliki dampak yang signifikan terhadap pandemi SARS-CoV-2 secara global,” tulis hasil penelitian tersebut.
Namun, pedoman pengobatan virus corona yang direkomendasikan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut Ivermectin tidak dapat dipakai untuk mengobati pasien Covid-19. “Kecuali dalam konteks uji klinis,” tulis WHO pada Maret lalu.
Badan Pengawas obat dan Makanan (FDA) Amerika Serikat dan Badan Pengawas Obat Eropa (EMA) juga mengatakan hal serupa. Ivermectin tidak direkomendasikan untuk mencegah atau mengobati Covid-19.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) juga sependapat. Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Profesor Zubairi Djoerban meminta masyarakat bersabar menunggu penelitian yang cukup terkait Ivermectin.
“Masih belum ada bukti ilmiah tentang kemanjuran Ivermectin untuk Covid-19. Sebagai dokter, saya tidak akan menyarankan sesuatu yang dasar ilmiahnya belum diakui,” ujar Zubairi pada Senin lalu.
Ia memberi contoh penggunaan Ivermectin di berbagai negara. Kementerian Kesehatan India telah mengubah pengobatan yang diresepkan untuk pasien Covid-19. “Menurut pedoman baru, penggunaan Ivermectin telah dihapus sepenuhnya. Itu sudah clear,” ungkapnya.
Kasus Covid-19 di India, menurut dia, tidak turun drastis karena Ivermectin. Namun, karena pemerintah melakukan pembatasan sosial ketat atau lockdown yang intens. Begitu pun dengan di Amerika Serikat dan Eropa.
Sementara, di Indonesia, seperti sudah disebutkan sebelumnya, BPOM masih melakukan uji klinis terhadap Ivermectin dan belum mengizinkan obat tersebut sebagai obat Covid-19.
Menurut Profesor Zubairi, dokter-dokter di Indonesia tidak boleh memakai Ivermectin untuk pengobatan Covid-19 sebelum izin BPOM keluar. “Dokter saja tidak boleh, apalagimasyarakat. Ingat, Ivermectin adalah obat keras,” katanya.
Penyumbang bahan: Alfida Febrianna (magang)