Kekusutan Data di Balik Rencana Hapus Sementara Data Kematian Covid-19

Muhammad Zaenuddin|Katadata
Petugas bejalan menuju tenda tempat peristirahatan petugas pemakaman di area pemakaman korban Covid-19 usai memakamkan jenazah TPU Rorotan, Jakarta Utara, Jumat, (16/7/2021).
Penulis: Safrezi Fitra
11/8/2021, 20.05 WIB

Pemerintah mengungkapkan alasan menghapus sementara data kematian dari indikator Covid-19. Latar belakangnya adalah banyaknya data yang belum diperbarui sehingga pemerintah perlu memperbaikinya terlebih dahulu.

Dalam kurun waktu tiga pekan terakhir, Kementerian Kesehatan merilis angka Kematian akibat Covid-19 yang cenderung tinggi. Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur menjadi penyumbang angka kematian paling besar.

Ternyata data tersebut kurang akurat, karena tidak menunjukkan angka yang benar pada tanggal rilisnya. Tenaga Ahli Kementerian Kesehatan Panji Fortuna Hadisoemarto mengatakan analisis data National All Record (NAR) Kementerian Kesehatan menemukan pelaporan kasus kematian yang dilakukan daerah tidak bersifat realtime dan merupakan akumulasi dari bulan-bulan sebelumnya.

NAR adalah sistem big data untuk pencatatan laboratorium dalam penanganan Covid-19 yang dikelola oleh Kemenkes.

Dia mencontohkan laporan kasus Covid-19 pada 10 Agustus 2021. Dari 2.048 kematian yang dilaporkan, sebagian besar bukanlah angka kematian pada tanggal tersebut, tapi pada sepekan sebelumnya. Bahkan 10,7% di antaranya berasal dari kasus pasien positif yang sudah tercatat di NAR lebih dari 21 hari, namun baru terkonfirmasi dan dilaporkan bahwa pasien telah meninggal.

Contoh lainnya adalah Kota Bekasi. Laporan per 10 Agustus, dari 397 angka kematian, 94% di antaranya bukan merupakan angka kematian pada hari tersebut. Melainkan rapelan angka kematian dari bulan Juli sebanyak 57% dan bulan Juni dan sebelumnya sebanyak 37%. "6% sisanya merupakan rekapitulasi kematian di minggu pertama bulan Agustus,” kata Panji.

Kemudian yang terjadi diKalimantan Tengah. Sebanyak 61% dari 70 angka kematian yang dilaporkan pada 10 Agustus mengacu pada kasus aktif yang sudah lebih dari 21 hari, tapi baru diperbaharui statusnya.

Menurut Panji, lebih dari 50 ribu kasus aktif saat ini merupakan kasus yang sudah lebih dari 21 hari tercatat, tapi belum dilakukan pembaruan.

Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kemenkes Widyawati mengakui adanya keterlambatan dalam pembaruan pelaporan dari daerah. Ini merupakan akibat dari keterbatasan tenaga kesehatan dalam melakukan input data ke sistem NAR Kemenkes. Tingginya kasus di daerah beberapa pekan lalu membuat para tenaga kesehatan kewalahan menginput data tersebut.

“Lonjakan-lonjakan anomali angka kematian seperti ini akan tetap kita lihat setidaknya selama dua minggu ke depan,” kata Widyawati. Kementerian Kesehatan berharap pemerintah daerah melakukan pembaharuan data sesegera mungkin.

Jubir Kemenko Marves: Bukan Dihapus

Juru Bicara Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Jodi Mahardi juga menjelaskan perihal tak dimasukkannya angka kematian dalam asesmen level Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).

"Bukan dihapus, hanya tidak dipakai sementara waktu karena ditemukan adanya input data yang merupakan akumulasi angka kematian selama beberapa pekan ke belakang, sehingga menimbulkan distorsi atau bias dalam penilaiannya," ujarnya dalam keterangan resmi, Rabu (11/8).

Pemerintah, menemukan banyak angka kematian yang ditumpuk-tumpuk, atau dicicil pelaporannya, sehingga terlambat dilaporkan. Akibatnya, terjadi distorsi atau bias pada analisisnya, sehingga sulit menilai perkembangan situasi di masing-masing daerah.

Data yang bias ini menyebabkan penilaian yang kurang akurat terhadap level PPKM di suatu daerah. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah akan terus mengambil langkah-langkah perbaikan untuk memastikan data yang akurat.  "Sedang dilakukan clean up (perapian) data, diturunkan tim khusus untuk ini. Nanti akan dimasukkan indikator kematian, jika data sudah rapi," ujarnya.

Sembari menunggu proses itu, untuk sementara pemerintah masih menggunakan lima indikator lain untuk asesmen, yakni seperti BOR (tingkat pemanfaatan tempat tidur), kasus konfirmasi, perawatan di RS, pelacakan (tracing), pengetesan (testing), dan kondisi sosio ekonomi masyarakat.