Sri Mulyani Jelaskan Mengapa RI Tak Bisa Lockdown Seperti Australia

Antara/Rivan Awal Lingga
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, Australia dan Selandia memiliki social safety net alias jaringan pengaman sosial yang lebih kuat sehingga mampu mengambil keputusan lockdown secara cepat.
Penulis: Abdul Azis Said
Editor: Agustiyanti
23/8/2021, 17.29 WIB

Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut keputusan penguncian wilayah alias lockdown yang cepat di Selandia Baru dan Australia tidak bisa disamakan dengan kondisi di Indonesia. Ia menyebut, ada sejumlah faktor yang membedakan Indonesia dengan kedua negara tersebut, salah satunya soal jumlah penduduk.

"Tidak ada satu formula yang sama setiap negara. Ada negara seperti Selandia Baru yang baru satu kasus saja sudah cukup membuat alasan untuk lockdown, kemudian di Australia juga sama dengan jumlah kasus yang masih ratusan mereka sudah harus melakukan lockdown," kata Sri Mulyani dalam Rapat Kerja Komisi XI DPR RI bersama Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia, Senin (23/8)

Sri Mulyani menjelaskan, populasi Selandia Baru hanya sekitar 5 juta jiwa, sedangkan Australia sekitar 25 juta. Sementara jumlah penduduk Indonesia mencapai sekitar 260 juta jiwa. Kedua negara maju itu juga memiliki social safety net alias jaringan pengaman sosial yang lebih kuat.

Mengutip data dari Dana Moneter Internasional (IMF), stimulus fiskal untuk penanganan pandemi yang digelontorkan oleh pemerintah Australia hingga tahun fiskal 2025 mencapai A$ 312 miliar atau setara Rp 3.219 triliun. Sementara anggaran yang disediakan pemerintah Selandia Baru sebesar NZ$ 62,1 miliar atau Rp 611 triliun.

Kendati demikian, Sri Mulyani juga mengatakan penguncian wilayah membuat kedua negara tersebut turut menghadapi tekanan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi Australia terkontraksi 2,24% tahun lalu, sementara Selandia Baru terkontraksi sedikit lebih dalam yakni 2,99%.

Pengetatan mobilitas, menurut Sri Mulyani, selalu memberi konskuensi terhadap perekonomian. Keberadaan Covid-19 varian Delta yang mulai merebak pada pertengahan Juni dan menimbulkan lonjakan kasus membuat pemerintah harus menempuh pembatasan. Padahal, ekonomi Indonesia mampu tumbuh 7,07% secara tahunan pada kuartal kedua seiring pandemi yang cukup terkendali. 

Ia mengatakan, dampak PPKM darurat dan level 4 terhadap perekonomian paruh kedua tahun ini mulai terlihat dari sejumlah indikator yang mulai memburuk. Purchasing Managers' Index (PMI) Manufaktur bulan Juli anjlok ke level Rp 40,10. Nilai tersebut berada di level pesimistis dan merupakan kontraksi pertama dalam sembilan bulan terakhir.

Data Bank Indonesia menunjukkan penjualan eceran yang tercermin dalam indeks Penjualan Riil (IPR) juga diperkirakan terkontraksi 8,3% dari bulan sebelumnya, dan kontraksi 6,2% dari Juli 2020.

"Trade off ekonomi akibat varian Delta ini sangat terlihat sekali, artinya memang Covid-19 harus ditangani sebelum kita bicara tentang pemulihan ekonomi yang berkelanjutan," kata Sri Mulyani.

Sri Mulyani memperkirakan pertumbuhan ekonomi kuartal III kembali melambat di kisaran 4% hingga 5,7%. Sementara kuartal IV diperkirakan naik tipis 4,6% hingga 5,9%. Sementara secara tahunan, PDB 2021 diperkirakan hanya tumbuh 3,7% hingga 4,5%.

Penerapan PPKM darurat yang berlanjut dengan level 4 telah berdampak pada penurunan kasus. Tambahan kasus baru pada Senin (23/8)  bertambah 9.604 orang, terendah sejak penerapan PPKM darurat. Total Kasus mencapai 3.989.060 dengan 3.571.082 pasien dinyatakan sembuh dan 127.214 orang meninggal dunia.

Reporter: Abdul Azis Said