Orang Indonesia kembali mengukir prestasi membanggakan. Kali ini datang dari Adi Utarini, perempuan kelahiran 4 Juni 1965 yang masuk ke dalam daftar 100 Orang Paling Berpengaruh versi majalah Time 2021.

Utarini merupakan seorang pengajar dan peneliti dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FK-KMK) Universitas Gajah Mada (UGM). Desember tahun lalu, dia sempat dianugerahi penghargaan 10 peneliti paling berpengaruh di dunia oleh jurnal ilmiah Nature, terkait penelitiannya tentang pengurangan demam berdarah dengue melalui intervensi nyamuk ber-wolbachia di Yogyakarta.

Prestasi membanggakan tersebut juga diapresiasi Menteri Keuangan Republik Indonesia (RI) periode Mei 2013 hingga Oktober 2014, Muhammad Chatib Basri. “Sebuah kebanggaan untuk Indonesia. Luar biasa untuk kontribusi yang amat penting ini,” ujar Chatib dalam cuitannya di Twitter, Kamis (16/9).

Sementara itu, mantan istri Bos Microsoft, Melinda Gates bercerita bahwa beberapa tahun lalu dalam perjalanan ke Indonesia, dia mengunjungi sebuah keluarga dekat lab Adi Utarini di Yogyakarta. Melinda memuji Utarini dan timnya dalam memerangi demam berdarah (DBD).

Menurut dia, upaya tersebut merupakan kemajuan besar saat penyakit menular seperti demam berdarah bisa menunjukkan penurunan dari tahun ke tahun. Demam berdarah telah mengancam hampir 400 juta orang setiap tahun dan diklaim WHO sebagai salah satu dari 10 penyakit terbesar yang mengancam kesehatan dunia.

“Saya ingin mendengar bagaimana dia berhasil meyakinkan mereka (warga) untuk membiarkannya melepaskan sekawanan nyamuk di sekitar lingkungan mereka,” ujar Melinda dilansir dari laman Time, Rabu (15/9).

Melansir laman resmi Health Policy and Management (HPM) FK UGM, Utarini menempati peringkat ke-311 sebagai peneliti terbaik Indonesia di semua mata pelajaran yang diterbitkan Webometrics 2017. Dia juga menerbitkan sekitar 30 jurnal kesehatan internasional, di mana penelitiannya fokus pada manajemen pengendalian penyakit dan kualitas perawatan kesehatan, khususnya dalam pengaturan perawatan rumah sakit.

Wanita yang akrab disapa Prof Uut ini menggunakan penelitian kualitatif dan penelitian metode campuran dalam perawatan kesehatan. Dia merupakan pemimpin dari Proyek Penghilangan Demam Berdarah (EDP) di Yogyakarta sejak 2013.

Proyek tersebut menerapkan intervensi Wolbachia Aedes Aegypti untuk menekan kasus demam berdarah di Yogyakarta. Wolbachia merupakan bakteri yang terdapat pada 60% serangga seperti kupu-kupu dan lebah.

Bakteri itu pertama kali diidentifikasi oleh Marshall Hertig dan S. Burt Wolbach pada 1924. Belakangan, penelitian terbaru menunjukkan nyamuk yang memiliki kandungan wolbachia pada tubuhnya tidak bisa menyebarkan penyakit DBD. Wolbachia juga terbukti aman bagi manusia, binatang, dan lingkungan.

Peneliti EDP Yogyakarta telah menyebarkan ribuan ember berisi telur nyamuk tersebut di kawasan pemukiman Yogyakarta sejak 2014. Tentu bukan telur nyamuk biasa. Dari telur-telur ini nantinya akan lahir nyamuk-nyamuk yang memiliki bakteri wolbachia dalam tubuhnya.

Berbekal dari studi ini, para peneliti EDP mengembangbiakkan nyamuk ber-wolbachia. Nyamuk-nyamuk tersebut kemudian dilepaskan ke lingkungan sekitar agar bisa menghabisi nyamuk aedes aegypti yang menjadi vektor demam berdarah. Pelepasan nyamuk dilakukan dengan meletakkan ember-ember berisi telur nyamuk di titik-titik pemukiman. Tidak kurang dari 12.000 ember telah tersebar di 40% wilayah Kota Yogyakarta dan sebagian Kabupaten Bantul.

Mulai awal 2016, ribuan ember-ember telur nyamuk dibagikan ke sejumlah wilayah di Yogyakarta. Setiap ember bisa melingkupi wilayah seluas 50 meter persegi dan akan kembali diisi dengan telur-telur baru yang siap menetas menjadi nyamuk setiap minggu.

Seiring berjalannya waktu, pelepasan nyamuk ber-wolbachia skala luas mulai menunjukkan perkembangan positif. Kesadaran masyarakat untuk menyukseskan penelitian juga semakin tinggi. Bahkan di beberapa tempat masyarakat menyatakan ingin membeli ember penelitian tersebut.

Populasi nyamuk ber-wolbachia juga kian meningkat hingga mencapai ambang batas yang ditetapkan yakni 60%-80%. Jika dalam satu wilayah populasi nyamuk wolbachia sudah mencapai 80%, diyakini wilayah tersebut aman dari serangan demam berdarah.

Proyek tersebut juga mendapatkan pendanaan dari Tahija Foundation Indonesia. Sejak dimulai pada 2011, pihak EDP sudah mengeluarkan biaya hingga US$9 juta dolar. Komponen terbesar datang dari sumber daya manusia dan pembelian teknologi.

Saat ini, penelitian wolbachia memang tidak hanya dilakukan di Indonesia. Sejumlah negara seperti Brasil, Vietnam, Kolombia, dan India juga tengah berjibaku dengan studi ini. Khusus di Amerika Latin, wolbachia yang dikembangkan diproyeksikan untuk menghambat virus Zika.

Wanita kelahiran 56 tahun lalu ini juga memimpin pengembangan kebijakan dan standar kualitas nasional di Indonesia, bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan di Direktorat Kualitas dan Akreditasi dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Jakarta.

Prof Uut kerap disebut sebagai pendiam tetapi persuasif oleh rekan-rekannya. Hobi peneliti ini adalah bersepeda dan bermain piano. Suami Utarini, Iwan Dripahasto juga pengajar di UGM. Iwan meninggal akibat Covid-19 pada Maret 2020.