Pandemi Covid-19 telah membuat banyak perubahan dalam kehidupan, termasuk aktivitas belajar mengajar yang harus dilakukan secara daring dan luring demi mencegah penyebaran virus.
Oleh karena itu, akses internet menjadi salah satu syarat utama yang dibutuhkan oleh masyarakat hingga ke pelosok desa. Memang, tidak semua sekolah dan desa atau kelurahan di Indonesia telah memiliki akses internet. Bahkan kebanyakan sekolah dan desa di daerah terdepan, terluar dan tertinggal (daerah 3T) belum mempunyai akses internet.
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim, dalam satu kunjungan awal tahun di Sorong, Papua Barat, menegaskan bahwa daerah 3T akan menjadi prioritas bagi kementeriannya. Dia juga memastikan bahwa bantuan alat teknologi informasi dan komunikasi akan diberikan, terutama untuk para siswa dan guru di daerah 3T.
Saat ini, terdapat 82.218 desa di Indonesia, ada 70.670 desa yang sudah mempunyai akses internet. Akan tetapi, masih tersisa 12.548 desa dan 150.000 titik layanan publik yang belum terjangkau internet sama sekali sehingga menjadi daerah blankspot alias titik kosong. Belum lagi adanya fakta bahwa 15.000 desa yang sudah dijangkau internet tapi kualitas koneksinya masih buruk.
Secara berbarengan, secara nasional, ada 19 persen satuan pendidikan yang kesulitan mendapatkan akses internet. Dari jumlah itu, ada 42.159 sekolah yang memang belum terakses internet. Sementara, 81 persen atau 175.356 sekolah yang sudah tersambung internet.
Permasalahan ini ternyata berhasil memantik banyak inisiatif baik dari berbagai elemen masyarakat di berbagai daerah. Di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, misalnya, tepatnya di SDN Cirangkong 1, Desa Cikeusal, Tasikmalaya, permasalahan buruknya koneksi internet masih terjadi ditambah adanya fakta bahwa hanya 20 persen dari jumlah siswa yang mempunyai telepon seluler, belum seluruhnya bersistem operasi android.
Pembelajaran tidak optimal dan juga membuata banyak orang tua murid mengeluh dengan beratnya biaya pulsa yang harus ditanggung.
Menanggapi hal itu, guru SDN Cirangkong 1, dibawah komando Kepala Sekolahnya, Elis Kurniati, berinisiatif membangun studio televisi amatir, supaya mampu membawa ruang kelas ke setiap rumah murid-muridnya. Elis beralasan, siaran televisi dipilih karena merupakan sarana elektronik paling digemari di desa itu dan mampu menayangkan video pengajaran.
Bak gayung bersambut, inisiatif itupun ditanggapi dengan baik oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Tasikmalaya, PGRI dan Dinas Komunikasi dan Informatika yang melalui Lembaga Penyiaran Publik Lokal TV mulai menyiarkan program Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) secara langsung.
Respons positif berhamburan baik dari para guru, murid dan orang tua murid. Nampaknya, dengan segala keterbatasan dan kelemahannya, program ini dapat menjadi alternatif pendidikan di masa pandemi.
Di daerah lain, pemerintah Kabupaten Temanggung, melalui Dinas Komunikasi dan Informasi (Dinkominfo) saat ini juga tengah mengembangkan sistem “Jarit Desa” (Jaringan Internet Desa) yang akan memprioritaskan daerah terpencil yang belum terjangkau internet dan daerah blankspot.
Saat ini, cakupan layanan program ini menjangkau 27 kantor badan atau dinas Pemkab Temanggung, 20 kecamatan, 224 desa dan kelurahan, 46 UPT dan Puskesmas, 25 sekolah, dimana diantaranya merupakan SD dan SMPN yang berada pada area blankspot atau lemah sinyal seluler, 19 PPK kecamatan, TV Temanggung dan ErTe FM serta 25 titik area publik.
Dinas Komunikasi dan Informatika setempat juga mengerahkan sarana Mobile Community Access Point untuk menguatkan layanan internet di daerah-daerah pelosok. Sebagai dampaknya, masyarakat tidak hanya gembira bahwa pembelajaran anak-anak mereka mendapat ruang yang jelas, tapi mereka juga mampu mendayagunakan akses internet itu untuk berbagai kebutuhan lainnya yang dapat mendukung perekonomian mereka.
Di Wates, ibukota Kabupaten Kulonprogo, Yogyakarta, berbeda lagi kisahnya. Kali ini, yang berinisiatif adalah RAPI (Radio Antar Penduduk Indonesia), yang didukung penuh oleh Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Kulonprogo, untuk menggunakan frekuensi radio yang mereka gunakan, juga HT (Handy Talky) alat komunikasinya, untuk membantu para pelajar SMPN 5 Wates yang tidak mempunyai akses seluler, internet atau bahkan rumahnya belum teraliri listrik.
Caranya, siswa-siswa yang membutuhkan pembelajaran melalui HT dikumpulkan dalam beberapa kelompok, lalu mereka bisa belajar, mulai mendengarkan guru berbicara, bertanya hingga diskusi dengan memakai HT tersebut. Sementara rekan-rekan mereka yang mempunyai akses internet, tetap melanjutkan pembelajarannya melalui internet atau telepon seluler mereka.
Berbagai inisiatif yang menggembirakan ini tentunya menjadi stimulan bagi pemerintah dalam mengoptimalisasikan upaya percepatan akses Pendidikan berkualitas kepada daerah- daerah.
Bagi mereka yang hendak mempelajari lebih jauh mengenai strategi pemerintah dalam upaya penguatan sarana pembelajaran jarak jauh, dapat mengunjungi https://pauddikdasmen.kemdikbud.go.id/bukuelektronik/baca/panduan-kemitraan-penguatan-sarana-pjj-di-masa-kebiasaan-baru.
Saat bersamaan, pemerintah juga tengah bekerja keras menyiapkan beberapa upaya dalam rangka transformasi digital di lintas aspek, yang secara komprehensif saling terkoneksi. Transformasi digital ini memungkinkan interkoneksi sistem dari lini finansial, pendidikan, kesehatan, smart city, hingga tata kelola pemerintahan. Tentu saja, saat ini semuanya masih dalam taraf proses.
Dalam konteks pendidikan, Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kemdikbudristek telah menyiapkan beberapa program strategis dan layanan yang selama ini manfaatnya dirasakan secara luas. Di antaranya, Rumah Belajar, TV Edukasi, Radio Edukasi dan beberapa layanan lainnya.
Bahkan, Rumah Belajar menjadi aplikasi pendidikan yang diakses ratusan juta pengunjung selama empat bulan terakhir, serta menjadi aplikasi pendidikan favorit selama ini. Pusdatin juga bekerjasama dengan lintas pihak, sebagai upaya kolaborasi untuk meningkatkan kualitas dan jangkauan.
Kemendikbud juga telah menyiapkan road map untuk 15 tahun mendatang, dalam peningkatan kualitas pembelajaran sekaligus transformasi digital pendidikan. Di antaranya peningkatan skor PISA (Programme for International Student Assessment), dengan target literasi (451), numerasi (407) dan sains (414) pada 2035. Di sisi lain, meningkatkan kuantitas guru penggerak hingga 300.000 pada 2035 seraya memaksimalkan kualitas tenaga pendidikan agar mampu menginspirasi peserta didik.
Selain itu, Kemdikbudristek juga menata sistem keuangan digital dalam belanja kebutuhan barang di kawasan 3T dan non 3T. Sistem keuangan digital ini menjadi bagian dari transparansi sekaligus transformasi digital dalam Pendidikan nasional.