Mendagri Minta Kepala Daerah Perhatikan Benih-Benih Intoleransi

ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha/hp.
Umat muslim melaksanakan Shalat Idul Fitri 1442 H di Masjid Al Hikmah yang bersebelahan dengan Gereja Kristen Jawa (GKJ) Joyodiningratan, Kratonan, Serengan, Solo, Jawa Tengah, Kamis (13/5/2021). Sebagai bentuk tolaransi umat beragama, Gereja setempat memindahkan jadwal kebaktian Kenaikan Isa Almasih dari pagi menjadi sore hari untuk menghormati umat Islam yang melaksanakan salat Ied.
30/9/2021, 14.52 WIB

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mendorong para kepala daerah di Indonesia untuk memperhatikan benih-benih intoleransi di wilayah masing-masing untuk mencegah pecahnya konflik sosial.

Tito menegaskan toleransi tidak datang tiba-tiba tetapi harus senantiasa dirawat. Apalagi Indonesia dikenal sangat pluralis dengan berbagai perbedaan suku, ras, dan agama. Guna mencegah konflik sosial, ia membeberkan tiga jurus utama. Pertama adalah pencegahan melalui identifikasi konflik dan dialog. Kedua, penghentian kekerasan melalui langkah penegakkan hukum yang terukur. Ketiga, pemulihan melalui aksi rekonsiliasi, rehabilitasi, dan rekonstruksi.

“Upaya pencegahan jauh lebih penting. Sebanyak 80% sumber daya harus kita kerahkan untuk pencegahan karena kalau sudah terjadi konflik akan mahal harganya,” ujarnya dalam "Dialog Nasional Pemerintah Kota Sebagai Pilar Penting Toleransi" yang didukung Katadata, Kamis (30/9).

Tito mengatakan keberagaman seharusnya menjadi kekayaan yang mempersatukan bangsa Indonesia. Ia juga meminta pemimpin daerah untuk terus mengupayakan toleransi dan mencegah timbulnya riak-riak perselisihan di antara masyarakat.

Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara mengatakan Pemda menempati urutan ketiga dalam soal aduan ke lembaganya setelah kepolisian dan sektor swasta. Dari data tersebut, salah satu yang paling mencolok adalah soal kebebasan beragama. “Kalau dibedah lagi lebih banyak ini soal pelarangan pendirian tempat ibadah serta pelarangan ibadah,” kata Beka dalam kesempatan yang sama, Kamis (30/9)

Beka mengatakan perlunya kolaborasi antara pemerintah daerah, masyarakat, tokoh agama, kampus, aparat penegak hukum agar hak konstitusional warga untuk beragama itu terus terjaga.

Menanggapi data aduan yang disampaikan oleh Komnas HAM, sejumlah kepala daerah mengatakan bahwa persoalan toleransi, khususnya pembangunan rumah ibadah memang menjadi salah satu persoalan yang sering muncul.

Wakil Ketua Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI) Hendrar Prihadi mengakui persoalan pendirian tempat ibadah kerap memicu konflik. “Saya heran padahal mereka sudah puluhan tahun bertetangga. Tetapi ketika muncul isu perbedaan agama bisa memicu konflik,” ujarnya, Kamis (30/9).

Selain soal pendirian rumah ibadah, intoleransi terhadap penghayat kepercayaan juga kerap terjadi. Ia menceritakan beberapa tahun lalu seorang siswa SMK di Semarang tidak naik kelas karena tidak mengikuti ujian keagamaan. Padahal, ia merupakan penghayat kepercayaan yang saat itu kurikulumnya tidak tersedia di sekolah. “Akhirnya kami panggil tokoh-tokoh penghayat kepercayaan untuk membuatkan soal ujian bagi siswa itu. Dia lulus ujian dan kini sudah bekerja,” ujarnya.

Walikota Kupang, Jefri Riwu Kore mengatakan guna menjaga kebersamaan antar umat beragama, pihaknya memutuskan untuk membuat peraturan daerah yang mengatur tentang permasalahan rumah ibadah.

“Akhirnya saya membuat suatu keputusan perda kerukunan, yang memfasilitasi semua permasalahan rumah ibadah. Kalau di kota rumah ibadah yang dulu itu enggak ada izinnya, kalau yang sekarang harus ada izinnya. Kita serahkan ke FKUB untuk menyelesaikan. Kita mau memastikan tersedianya rumah ibadah,” kata Jefri

Forum Kerukunan Antar Umat Beragama (FKUB) merupakan forum yang dibentuk Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri yang didirikan pada tahun 2004 lalu.

Penyumbang Bahan: Mela Syaharani