Mengenal Suku Bugis dari Sejarah sampai Rumah Adat yang Dimilikinya

instagram.com/nuraga_photo
Perempuan mengenakan pakaian adat Suku Bugis
Penulis: Siti Nur Aeni
4/10/2021, 08.20 WIB

Ketika menginjankan kaki di Pulau Sulawesi kita tidak hanya disuguhi pemandangan alam yang indah. Namun kita juga bisa melihat kekayaan budaya dan keramahtamahan masyarakatnya.

Di Pulau Sulawesi terkenal suku yang bernama Suku Bugis. Kelompok masyarakat ini ternyata memiliki sejarah yang cukup panjang dan menarik untuk dipelajari. Bagaimana cerita dibalik masyarakat adat ini? Berikut penjelasan lengkapnya.

Asal Usul Suku Bugis

Suku bugis berasal dari Sulawesi. Mengutip dari wajokab.go.id, Bugis merupakan suku yang masuk dalam kategori Deutero Melayu. Kata “Bugis” berasal dari “To Ugi” yang artinya “orang Bugis”.

Penggunaan kata “ugi” mengarah pada La Sattumpugi yang merupakan raja pertama di Kerajaan Cina di Pammana, Kabupaten Wajo. To Ugi bisa juga dimaknai sebagai pengikuti La Sattumpugi. Masyarakat Bugis ini tersebar di Kabupaten Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Sidrap, Pinrang, Sinjai, dan Barru.

Dalam perekmbangannya, Suku Bugis memiliki beberapa kerajaan klasik yang cukup besar. Mengutip di kk.sttbandung.ac.id, berikut ini penjelasan tentang kerajaan yang pernah berkembang di masyarakat Bugis.

1. Kerajaan Bone

Kerajaan ini memiliki sejarah yang cukup panjang dengan diwarani oleh kekecauan dalam waktu yang lama. Di tengah kekacauan tersebut muncul To Manurung.

Kemudian To Manurung atau yang juga dikenal Menurunge ri Matajang akhrinya dilantik sebagai raja. Selama menjalankan pemerintahan, ia dibantu oleh dewan legislatif yang bernama ade pitue. Seiring berkembangnya waktu, kerajaan ini kemudian memperluas wilayah ke utara, selatan, dan barat.

2. Kerajaan Makassar

Pada tahun ke 12, 13, hingga 14 ada kerjaan beranama Gowa, Soppeng, Bone dan Wajo. Keempat kerajaan tersebut mengalami krisis sosial.

Kerajaan Gowa (Makassar) akrhinya mendirikan kerjaan pendamping bernama Kerajaan Tallo. Namun pada akhirnya, Kerajaan Gowa dan Tallo kembali menjadi satu dalam satu payung bernama Kerajaan Makassar (Gowa).

3. Kerajaan Soppeng

Saat terjadi banyak kekecauan, kerjaan ini muncul dua orang To Manarung. Pertama, perempuan bernama Manurungnge ri Goarie yang kemudian memerintah Soppeng ri Aja.

Kedua, laki-laki bernama La Temmamala Manurungnge ri Sekkanyili yang memerintah Soppeng ri Lau. Kemudian kedua kerajaan tersebut bergabung menjadi Kerajaan Soppeng.

4. Kerajaan Wajo

Kerajaan ini berasal dari komune-komune di berbagai tempat. Dalam perkembangannya, kerajaan ini pernah dipimpin oleh beberapa raja dan pernah mengalami kekosongan kekuasaan. Dari situlah muncul kontrak yang isinya hak kemerdekaan Wajo.

Bahasa Suku Bugis

Komunikasi menjadi hal yang penting bagi makhluk hidup. Komunikasi bisa dilakukan secara lisan atau tulisan. Pada zaman dahulu, Suku Bugis menggunakan dua cara komunikasi tersebut. Secara lisan mereka berkomunikasi menggunakan bahasa Bugis, sedangkan secara tulisan mereka memiliki aksara sendiri yang bernama Lontara.

Mengutip dari petabahasa.kemdikbud.go.id, bahasa Suku Bugis memiliki banyak dialeg. Berikut ini daftar dialeg yang ada di bahasa Bugis.

  • Dialek Bone
  • Dialek Pangkep
  • Dialek Makassar
  • Dialek Pare-Pare
  • Dialek Wajo
  • Dialek Sidenreng Rappang
  • Dialek Sopeng
  • Dialek Sinjai
  • Dialek Pinrang
  • Dialek Malimpung
  • Dialek Dentong
  • Dialek Pattinjo
  • Dialek Kaluppang
  • Dialek Maiwa
  • Dialek Dialek Maroangin
  • Dialek Wani
  • Dialek Bugis Kayowa
  • Dialek Buol Pamoyagon (Bugis Pomayagon)
  • Dialek Buol Bokat (Bugis Bokat)
  • Dialek Jambi
  • Dialek Kalimantan Selatan
  • Dialek Lampung
  • Dialek Sulawesi Tenggara
  • Dialek Bali
  • Dialek Sulawesi Tengah
  • Dialek Riau
  • Dialek Kalimantan Timur

Sedangkan untuk berkomunikasi secara tertulis Suku Bugis menggunakan aksara bernama Lontara. Menurut penjelasan di Jurnal Al – Ulum Volume 12, No. 1, Tahun 2012, aksara ini merupakan manuskrip yang ditulis dengan alat tajam di atas daun lontar. Kemudian ditambah cairan hitam pada bekas goresannya.

Hingga saat ini belum ada kejelasan mengenai awal mula munculnya aksara ini. Namun aksara Lontara muncul di beberapa naskah kuno masyarakat Bugis. Dalam jurnal tersebut juga dijelaskan beberapa naskah kuno yang menjadi bagian dari kebudayaan Bugis.

  1. Lontara Padang: kumpulan amanat orang bijak yang menjadi kaidah dalam kehidupan orag-orang Bugis.
  2. Attoriolong: catatan keturunan raja-raja dengan pengalaman di masa lalu.
  3. Pau-pau ri kadong: cerita rakyat yang brisi legenda dan peristiwa luar biasa.

Di Sulawesi Selatan juga ada dua jenis huruf yang pernah dipakai. Pertama, huruf segi empat atau hurufu sulapak eppa. Kedua, huruf burung-burung atau huruf jangan-jangan.

Setelah Islam datang, tradisi tulis menulis lebih berkembang. masayrakat Bugis kemudian mengenal tulisan dengan aksara Arab – Melayu. Untuk keperluan keagamaan, tulisan kemudian berubah menjadi huruf Arab.

Pakaian Suku Bugis

Tak berhenti sampai di bahasa dan aksara, kebudayaan Suku Bugis juga bisa dilihat dari baju adat yang dimilikinya. Pakaian Suku Bugis bernama baju Bodo.

Baju ini memiliki bentuk seperti baju kurung tanpa jahitan. Pada bagian bawah terbuka sedangkan bagian atas terdapat lubang seukuran kepala tanpa kerah. Bagain depan baju tidak ada kancing atau perekat. Ujung atas sebelah kanan kiri dibuat kubang sat jengkal untuk lengan.

Menurut penjelasan di jurnal Folio 2(1), baju Bodo terdiri dari dua macam yaitu baju yang digunakan untuk sehari-hari dan baju yang digunakan para bangsawan. Berdasarkan warnanya, berikut ini penggunaan baju Bodo.

Baju Bodo untuk Kehidupan Sehari-hari

  1. Anak-anak berusia di bawah 10 tahun: mengenakan baju yang disebut Waju Pella-Pella berwarna kuning gading.
  2. Usia 10 – 14 tahun: mengenakan baju Bodo berwarna jingga dan merah muda.
  3. Usia 14 – 17 tahun: mengenakan baju Bodo berwarna jingga dan merah muda, berlapis susun dua.
  4. Usia 17 – 25 tahun: mengenakan warna merah tua, belapis, dan bersusun. Biasanya baju ini juga dikenakan oleh perempuan yang sudah menikah dan memiliki anak.
  5. Usia 25 – 40 tahun: mengenakan baju Bodo berwarna hitam.

Baju Bodo untuk Bangsawan

  1. Baju Bodo warna putih dikenakan oleh inang raja atau dukun atau bissu.
  2. Baju Bodo berwarna hijau diguankan dikenakan oleh putri raja. Namun saat ini, baju Bodo warna hijau sering dikenakan di acara pernikahan.
  3. Baju Bodo warna ungu dikenakan untuk janda.

Rumah Adat Suku Bugis

Sama halnya suku lain yang ada di Nusantara, Bugis juga memiiki rumah adat yang menjadi ciri khasnya. Mengutip dari Prosoding Seminar Nasional Sains dan Teknologi Terapan VI 2018, Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya, dijelaskan bahwa rumah adat Bugis memiliki tiga bagian yang terinspirasi dari tubuh manusia.

Adapun bagian-bagian yang ada di rumah adat Suku Bugis, sebagai berikut:

  1. Awa Bola: bagian kolong rumah atau kaki merupakan bagian paling bawah rumah.
  2. Ale Bola: bagian rumah yang terdiri atas dinding dan lantai. Bagian ini terletak di antara lantai dan loteng.
  3. Botting Langi: bagian rumah paling atas, yang terdiri dari loteng dan atap rumah.

Sementara itu untuk ruangan di rumah adat ini juga ada tiga macam dengan fungsi yang berbeda. Ruangan tersebut yaitu:

  • Ruang depan (Lontang Risaliweng) berfungsi untuk menerima tamu, tempat tidur tamu, tempat musyawarah, dan kegiatan lain yang sifatnya umum.
  • Ruang tengah (Lontang Ritengnga): fungsinya untuk tempat tidur kepala keluarga beserta istri, tempat tidur anak yang belum dewasa, dan ruang makan.
  • Ruang berlakang (Lontang Rilaleng): berfungsi utnuk tempat tidur lansia dan gadis remaja.

Rumah masyarakat Bugis juga ada tambahan ruang dapur yang ada dibelakang atau samping. Posisi dapur sangat penting sebab berkaitan dengan pelayanan kebutuhan rumah tangga.

Itulah penjelasan sekilas tentang Suku Bugis dan adat istiadat yang dimilikinya. Kekayaan budaya tersebut sudah senantiasa dilestarikan karena menjadi ciri khas serta karakter bangsa.