Masa Kelam Pemberantasan Korupsi di Indonesia

Antara/Benardy Ferdiansyah
Gedung KPK
Penulis: Doddy Rosadi
4/10/2021, 21.36 WIB

Sarasehan Untuk Negeri atau yang biasa disingkat Seruni merupakan salah satu acara diskusi publik yang diadakan oleh Departemen Kajian dan Aksi Strategis Badan Eksekutif Mahasiswa FEB UI sebagai respons terhadap isu-isu strategis di Indonesia.

Sarasehan Untuk Negeri pada tahun ini mengangkat tema “A Blueprint for Change: Contriving the Ideas of Corruption Eradication”. Tema ini pada muncul karena adanya kekhawatiran atas pemberantasan korupsi yang bisa dibilang makin memburuk akhir-akhir ini.

Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang menjadi salah satu pembicara di sesi diskusi mengungkapkan, korupsi bisa dikurangi jika ada etika yang dipegang. Ganjar menyebutkan bahwa biasanya korupsi terjadi karena adanya kekuasaan dengan kontrol yang kurang atau adanya kolusi antarkekuasaan.

Pendiri Visi Integritas Donal Fariz membeberkan mengenai masa kelam pemberantasan korupsi di Indonesia. Ia menyampaikan bahwa saat ini merupakan masa paling kelam KPK, dan dua puluh bulan KPK era baru cenderung memunculkan kontroversi seperti penyingkiran 57 pegawai KPK melalui tes TWK.

“KPK hanya bisa diselamatkan jika UU KPK hasil revisi dibatalkan atau pimpinan KPK yang sekarang dirombak,” jelas Donal.

Pakar komunikasi politik Prof. Dr. Tjipta Lesmana memaparkan bahwa korupsi di Indonesia sudah membudaya dan makin memprihatinkan. Dia berpendapat bahwa korupsi terjadi karena sense of morality, rasa kepemimpinan, dan sistem politik yang masih kurang dan harus dikembangkan lagi.

Direktur YLBHI Asfinawati beranggapan bahwa terdapat kaitan yang erat antara demokrasi dan korupsi. Pemerintahan yang otoriter dapat menjadi penyebab dari korupsi suatu negara.

Korupsi dapat menjadi motif bagi orang yang otoriter untuk mendapatkan kekuasaan yang lebih besar. Begitu korupsi semakin banyak, kita dapat melihat tingkat demokrasi negara tersebut,” jelas Asfinawati.

Peneliti CSIS Edbert Gani berpendapat bahwa sistem politik dan partai perlu diperbaiki. Partai politik di Indonesia kini terlalu banyak dan membuat presidentialization of partai politik dimana partai politik tidak lagi memiliki ideologis yang diperjuangkan, tetapi hanya untuk mendorong orang-orang yang akan maju.

“Partai politik membutuhkan banyak uang dan karena kondisi ekonomi tidak terlalu terbuka, maka kegiatan dilakukan secara ekstraktif untuk menjalankan demokrasi elektoral,” ujar Edbert.