Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menyebut masih butuh waktu untuk menyambut usulan PPP yang ingin membentuk poros Islam di Pemilu 2024.
Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar mengatakan PKB akan fokus untuk menjajaki koalisi di 2022. Ia menyebut penjajakan koalisi membutuhkan waktu yang lama untuk menjaga kebersamaan. Kendati demikian, ia menegaskan PKB masih membuka diri untuk berkoalisi dengan partai apapun.
"Kita tidak mungkin berdiri sendiri sehingga kita butuh koalisi," ujar Cak Imin kepada wartawan di Kompleks Parlemen pada Selasa (21/12) malam.
Sebelumnya, Ketua DPP PPP Achmad Baidowi alias Awiek mengatakan pihaknya berencana menggandeng PKS, PKB dan PAN untuk membentuk poros Islam. Koalisi empat partai itu dinilai cukup untuk memenuhi ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold yang saat ini 20%-25%.
Menurut Awiek, saat ini yang paling penting adalah bagaimana poros Islam dapat memperoleh 20% kursi atau 25% suara dalam pemilu nanti. Sementara itu, untuk figur yang diajukan nanti bisa mewakili kelompok nasionalis religius.
"Mudah-mudahan koalisi ini nantinya bisa menyodorkan dua atau tiga calon presiden dan wakil presiden," ujar Awiek.
Wakil Ketua Umum PPP, Arsul Sani sempat mengusulkan agar Pilpres 2024 dapat menampilkan lebih dari dua pasasangan calon. Berdasarkan pengalaman pada Pilpres sebelumnya, jumlah paslon yang hanya dua mencerminkan politik identitas. Arsul menyebut pada Pilpres 2024, politik identitas tersebut naik secara tajam dan signifikan.
Lebih lanjut, Arsul mengatakan dengan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold yang saat ini minimal 20%, masih terbuka kemungkinan untuk mendapat setidaknya tiga paslon.
"Meskipun itu belum menjadi keputusan resmi, yang harus kita dorong itu tampilnya pasangan calon dalam pilpres yang tidak hanya dua, minimal tiga, ideal lagi lebih dari tiga," ujar Arsul dalam diskusi Refleksi Politik Kebangsaan Tahun 2021 di Kompleks Parlemen pada Rabu (15/12).
Arsul mengakui jumlah paslon yang banyak membuka kemungkinan Pilpres dilaksanakan dalam dua putaran, sehingga memerlukan anggaran yang besar. Namun, menurut Arsul ongkos sosial yang diakibatkan dari ekspresi politik identitas lebih mahal nilainya daripada anggaran yang mesti digelontorkan untuk dua putaran Pilpres.
Arsul menilai ongkos sosial tidak bisa dinilai dengan uang. Ekspresi politik identitas kemudian bisa saja dihadapi dengan keras seperti dengan proses hukum dan lain sebagainya.
"Apa iya itu benar meredam atau itu hanya menyimpan saja? Kemudian menimbulkan api dalam sekam. Kita semua khususnya para elit yang termasuk saya juga untuk memikirkan bahwa jangan karena kepentingan-kepentingan praktis kekuasaan dan kemudian kita tidak berhitung," ujar Arsul.