Walhi Kritik Pengesahan UU IKN Karena Dinilai Minim Konsultasi Publik

Muhammad Zaenuddin|Katadata
Suasana Rapat Paripurna ke-13 DPR RI Masa Persidangan III Tahun Sidang 2021-2022 di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (11/1/2022). DPR dan pemerintah sepakat mengesahkan UUU Ibu Kota Negara dalam Rapat Paripurna pada Selasa (18/1).
Penulis: Nuhansa Mikrefin
Editor: Maesaroh
19/1/2022, 12.38 WIB

 Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengkritik pengesahan Undang-Undang Ibu Kota Negara (UU IKN) dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Selasa (18/1) lalu.

Manajer Kampanye Infrastruktur dan Tata Ruang WALHI, Dwi Sawung mengatakan pengesahan UU IKN seperti mengulang kesalahan pada pengesahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja).

UU Cipta Kerja kemudian dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada bulan November 2021 lalu.

Kesamaan tersebut tercermin dari minimnya konsultasi publik yang disebut hanya sebagai formalitas tanpa ada substansi.

Walhi mengklaim mendapat informasi di Kalimantan Timur tidak ada konsultasi publik yang melibatkan masyarakat terdampak baik di kawasan inti maupun kawasan penyangga.

"Proses konsultasi tidak inklusif padahal ibukota ini bukan hanya kepentingan pihak-pihak tertentu tapi juga kepentingan publik," ujar Dwi seperti dikutip dari akun Instagram @walhi.nasional pada Rabu (19/1).

Selain itu Walhi, menilai dari sisi urgensi pemindahan ibu kota tidak diperlukan lantaran saat ini Indonesia masih dilanda pandemi Covid-19. Terlebih pemindahan ibu kota memakan biaya yang cukup tinggi yakni Rp 466 triliun.

 Kemudian Walhi juga menyoroti dampak pada lingkungan Provinsi Kalimantan Timur tempat ibu kota baru.

Dwi mengatakan Walhi belum melihat daya tampung dan daya dukung lokasi ibu kota baru akan sanggup menampung dan mendukung pembangunan ibu kota baru.

"Kami tidak melihat kepentingan publik dibahas dan diutamakan selama proses pembahasan pemindahan ibu kota negara baik pembuatan aturan (UU) ataupun pembahasan perlu atau tidak pemindahan ibukota," ujar Dwi.

DPR dan pemerintah sepakat mengesahkan UU IKN dalam Rapat Paripurna pada Selasa (18/1).

Pembahasan RUU IKN ini hanya berlangsung kurang dua bulan sejak mulai bekerjanya Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara (Pansus RUU IKN) pada awal Desember 2021.

 Ketua Pansus RUU IKN Ahmad Doli Kurnia mengatakan Pansus mulai bekerja sejak 7 Desember 2021 hingga Selasa (18/1) dini hari. Dia menyebutkan RUU IKN terdiri dari 11 Bab dan 44 Pasal.

Doli mengatakan hanya fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menolak untuk membawa ke Rapat Paripurna.

"Fraksi PKS menolak hasil RUU IKN dan menyerahkan pengambilan keputusan tingkat II pada rapat paripunra DPR RI," kata Doli di Rapat Paripurna, Selasa (18/1).

Anggota Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara (Pansus RUU IKN) Fraksi PKS, Hamid Noor Yasin mengatakan pemindahan ibu kota baru sangat membebani keuangan negara dan menjadi tidak fokus dalam pemulihan perekonomian.

Hamid mengingatkan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah mencatat utang pemerintah mencapai Rp 6.687,28 triliun atau setara 39,69% produk domestik bruto (PDB) di akhir tahun 2021. Sedangkan kebutuhan untuk pemindahan ibu kota mencapai Rp 466 triliun.

"Padahal hanya dengan pemulihan ekonomi maka kesejahteraan dapat ditingkatkan," ujar Hamid saat menyampaikan interupsi dalam rapat paripurna pada Selasa (18/1).

 Lebih lanjut, Hamid mengatakan pemindahan ibu kota negara harus dibedakan dengan pemindahan Istana Negara.

Hamid menyebut pemindahan ibu kota membutuhkan banyak pendanaan, sumber daya manusia, lingkungan, pertahanan dan keamanan.

Hamid menyebut PKS memandang bahwa RUU IKN masih memuat potensi masalah baik secara formil maupun materiil.

Pembahasan RUU IKN dinilai terlalu singkat dan terburu-buru sehingga banyak substansi yang belum dibahas.

"Pada proses pembahasan RUU IKN fraksi kami fraksi PKS merasa dikejar-kejar, pembahasan belum mendalam dan belum komprehensif," ujar Hamid.

Reporter: Nuhansa Mikrefin