Kolusi Adalah Kerja Sama dalam Hal Buruk, Ini Pengertiannya

ANTARA FOTO/Reno Esnir/foc.
Tersangka staf mantan Gubernur Jambi Zumi Zola, Apif Firmansyah berjalan meninggalkan Gedung Merah Putih KPK usai pemeriksaan di Jakarta, Selasa (15/2/2022). KPK memeriksa Apif Firmansyah sebagai tersangka atas kasus dugaan penerima gratifikasi terkait pengadaan barang dan jasa di Pemerintahan Provinsi Jambi Tahun 2016-2021. Gratifikasi sendiri adalah salah satu bentuk dari kolusi.
Editor: Intan
18/2/2022, 10.58 WIB

Sejak era Orde Baru, frasa Korupsi, Kolusi dan Nepotisme alias KKN sudah menjadi jargon yang sering didengar. Jargon itu semakin nyaring saat masa reformasi tiba hingga selesainya masa orde baru. Meski demikian tidak banyak yang tahu makna lengkap mengenai ketiga kata tersebut. Dalam artikel ini akan fokus membahas mengenai arti kolusi yang kerap menjadi racun dalam kehidupan. Terutama kekuasaan politik.

Penjelasan Kolusi

Secara makna yang dikutip dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, kolusi adalah suatu kerja sama rahasia untuk maksud tidak terpuji; persekongkolan: hambatan usaha pemerataan antara pejabat dan pengusaha.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga membuat pengertian tentang kolusi. Dalam persepsi lembaga tersebut, kolusi adalah suatu persekongkolan antara dua pihak atau lebih untuk melakukan suatu tindakan yang seolah-olah wajar, tetapi bertujuan memperoleh keuntungan dengan cara merugikan pihak lain (collusion).

Selain itu, Kamus.tokopedia.com meberikan makna bahwa kolusi adalah satu hal yang lekat dan hampir selalu menjadi paket dengan dua praktik lainnya yakni korupsi dan nepotisme. Ketiganya lantas umum dikenal dengan sebutan ‘KKN’ di seluruh dunia.

Para ahli ekonomi juga menjelaskan, bahwa kolusi adalah suatu bahasan yang merujuk pada suatu aktivitas atau perbuatan tidak jujur yang dilakukan oleh dua pihak terkait yang sudah sepakat untuk bekerjasama dalam mencapai tujuan tertentu, misalnya memainkan harga pasar. Kasus kolusi yang demikian lumrah dilakukan oleh setidaknya dua perusahaan besar yang berkeinginan untuk meraih keuntungan bersama (oligopoli).

Dalam pola praktik yang sama juga berlaku dalam kasus yang dilakukan secara individu, yang mana telah terjadi ‘kesepakatan’ untuk suatu tujuan tertentu, misalnya pemberian hadiah (gratifikasi) oleh seorang pengusaha kepada oknum pejabat agar mendapatkan izin proyek.

Praktik kolusi ini seperti ini marak sekali terjadi di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari maraknya penangkapan sejumlah oknum pejabat dan pengusaha terkait kasus ini.

Peraturan mengenai kolusi diatur di UU 5/1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Terdapat dua TAP MPR terkait dengan kolusi, yaitu TAP MPR XI/1998 tentang penyelenggaraan negara yang bersih bebas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dan TAP MPR VIII/2001 tentang arah kebijakan pemberantasan dan pencegahan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Namun demikian, tidak ada undang-undang yang mengatur tentang kolusi yang dikaitkan dengan tindak pidana korupsi.

Pola Operasi Kolusi

Dalam melakukan modus operandi kolusi di Indonesia, terbagi atas dua macam, antara lain:

1. Gratifikasi

Pola kolusin ini dilakukan dengan pemberian ‘hadiah’ baik berupa uang tunai maupun barang dari pengusaha kepada oknum pejabat, baik di tingkat daerah maupun nasional (anggota parlemen atau eksekutif) dengan tujuan oknum pejabat tersebut ‘memuluskan’ jalan perusahaan yang dipimpin oleh pengusaha tersebut berhasil memenangkan tender suatu proyek Pemerintah. Kerjasama ini terkadang juga berlanjut ke proyek-proyek selanjutnya.

perlu dilihat rumusan Pasal 12B Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

“Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya”

Apabila dilihat dari rumusan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu gratifikasi atau pemberian hadiah berubah menjadi suatu yang perbuatan pidana suap khususnya pada seorang Penyelenggara Negara atau Pegawai Negeri adalah pada saat Penyelenggara Negara atau Pegawai Negeri tersebut melakukan tindakan menerima suatu gratifikasi atau pemberian hadiah dari pi­hak manapun sepanjang pemberian tersebut diberikan berhubungan dengan jabatan ataupun pekerjaannya.

2. Perantara

Pola kolusi jenis ini pada umumnya umumnya berkaitan dengan pengadaan barang atau jasa, di mana proses tersebut yang selayaknya dapat dilakukan dengan mekanisme Government to Government atau Government to Producer, harus terlebih dahulu ‘melewati’ seorang perantara yang hendak mengambil keuntungan. Perantara atau broker ini pun biasanya terdiri dari oknum-oknum yang memiliki jabatan atau wewenang tertentu di lembaga Pemerintahan atau perusahaan yang terlibat.

Perlu ada tindakan tegas dari aparat, karena kolusi adalah bentuk pemufakatan jahat yang dilakukan secara bersama-sama dengan tujuan meraup keuntungan. Tindakan ini tentu saja tidak dibenarkan dan sudah masuk ke dalam kategori tindak pidana sehingga siapa saja yang tertangkap tangan melakukannya harus diproses secara hukum.