Pembangkit listrik tenaga nuklir terbesar di Eropa, Zaporizhzhia terbakar dalam serangan Rusia ke Ukraina. Merespons hal tersebut, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) akan menggelar rapat darurat pada Jumat (4/3) pukul 11.30 waktu New York.
Dikutip dari AFP, sesi rapat darurat ini merupakan permintaan Perdana Menteri Inggris Boris Johnson. Dalam rapat tersebut, akan ada pernyataan dari Badan Energi Atom Internasional (IAEA) dan pejabat PBB.
Sedangkan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy meminta masyarakat Rusia protes terhadap serangan yang berujung pengambilalihan pembangkit oleh pasukan Negeri Beruang Merah itu.
Bukan tanpa sebab, serangan tersebut memicu kekhawatiran munculnya bencana nuklir. Hal ini mengingatkan kejadian serupa di Chernobyl pada tahun 1986.
“Anda harus turun ke jalan, katakan bahwa anda ingin hidup tanpa kontaminasi radioaktif. Radiasi tidak peduli di mana Rusia atau batas negara anda,” kata Zelenskiy, Jumat (4/3) dikutip dari Antara.
Pasukan Rusia sebelumnya telah mengambilalih Chernobyl yang tak lagi beroperasi. Analis juga sempat menjelaskan bahwa Zaporizhia merupakan pembangkit tipe berbeda dan lebih aman.
Namun tetap saja Zelenskiy mengatakan saat ini bukan waktu yang tepat bagi seluruh dunia untuk diam. “Anda harus ingat grafit (Chernobyl) yang terbakar dan para korban. Anda tidak boleh diam,” katanya.
Meski demikian, Kementerian Pertahanan Rusia menyalahkan sabotase Ukraina sebagai pangkal serangan ke Zaporizhzhia. Mereka mengatakan langkah tetangganya itu sebagai provokasi mengerikan.
Moskow juga mengatakan bahwa pembangkit tersebut telah diambilalih sejak 28 Februari 2022 lalu. “Upaya dilakukan rezim nasionalis Ukraina untuk melakukan provokasi mengerikan,” kata Juru Bicara Kemenhan Rusia Igor Konashenkov.
Pertempuran antara Rusia dan Ukraina masih terus berlanjut hingga hari ini. Adapun pembicaraan awal dari delegasi kedua negara masih berujung jalan buntu.
Sejumlah kota seperti Kharkiv, Kyiv, Mariupol, hingga Chernihiv terus menjadi sasaran rudal Rusia. Invasi ini juga mengakibatkan pemerintahan Vladimir Putin makin terisolasi lantaran terkena sejumlah sanksi ekonomi.