Artikel ilmiah adalah laporan yang ditulis berdasarkan hasil penelitian atau pengamatan yang terstruktur dan sistematis berdasarkan metode ilmiah yang memenuhi kaedah dan etika ilmiah untuk mendapatkan jawaban sesuai rumusan masalah yang diajukan.
Artikel ilmiah menyajikan isi secara teoritis dan konseptual serta dirancang untuk dimuat dalam jurnal ilmiah atau buku. Penulisannya mengikuti pedoman atau konvensi ilmiah yang telah ditetapkan.
Ciri-Ciri Artikel Ilmiah
Berdasarkan buku Dasar- Dasar Penulisan Karya Ilmiah, ciri-ciri artikel ilmiah dijelaskan sebagai berikut.
- Merupakan pekerjaan yang memperlihatkan keaslian penulis.
- Merupakan sintesa temuan-temuan tentang suatu topik dan pendapat penulis.
- Memperlihatkan bahwa penulis merupakan bagian dari suatu komunitas akademis.
- Merupakan pengakuan, pernyataan, dan jawaban terhadap semua sumber yang digunakan.
Contoh Artikel Ilmiah
Simak contoh artikel ilmiah berikut ini.
Character Building Sebagai Modal Menghadapi Tantangan Global
Oleh: B. Suparlan
Karakter bangsa umumnya bersifat kolektif yaitu akumulasi dari karakter pribadi seluruh warga bangsanya. James Madison, salah satu peletak dasar konstitusi Amerika Serikat, (dalam Rajasa, M,H. 2009) pernah menyatakan bahwa “the character of a nation is determined by the character of its people” atau karakter yang dimiliki suatu bangsa ditentukan oleh karakter warga bangsanya. Komponen utama dari karakter bangsa adalah tata nilai atau values yang dibangun dan ditumbuhkembangkan oleh para warga bangsanya. Oleh karena itu, keberhasilan atau kegagalan sebuah bangsa menjadi sangat tergantung pada upaya pembinaan dan pembangunan karakter warga bangsanya.
Dalam kaitan itu, modalitas nasional yang akan menjadikan Indonesia sebagai negara maju, harus mengedepankan pembangunan karakter dan watak bangsa yang positif. Upaya pembangunan karakter (character building) akan menjadikan rakyat Indonesia menjadi kumpulan masyarakat pekerja keras, penuh semangat juang yang tinggi, mampu saling bekerjasama secara produktif dengan sesama warga bangsa, untuk menjadikan bangsanya bangsa yang maju dan berhasil dalam pembangunan (Haynes., C., Charles, 2008).
Haynes, C (2008) menyatakan bahwa character building is a never ending process, yang artinya bahwa pembangunan karakter dilakukan sejak kita masih berupa janin di dalam kandungan sampai saat kita menutup usia. Oleh karena itu, pembangunan karakter dalam kehidupan kita dapat dibagi dalam tiga tahapan pembangunan karakter, yaitu pada usia dini (tahap pembentukan), usia remaja (tahap pengembangan), dan saat dewasa (tahap pemantapan).
Namun, tampaknya kondisi bangsa saat ini tak terlalu banyak berubah sejak kita mengalami krisis multidimensi hampir sepuluh tahun terakhir. Ironisnya, kini kita juga mengalami krisis akhlak dan moral yang mempunyai dampak berkelanjutan sampai dengan hari ini (Hargens, Boni, 2004). Keterpurukan kita sebagai bangsa saat ini bukan semata-mata disebabkan oleh faktor eksternal dari pengaruh ekonomi global, politik, dan hukum, tetapi yang tak kalah besar pengaruhnya adalah faktor internal. Faktor manusia Indonesia itu sendiri (Yewangoe, Andreas A. 2006).
Pembentukan karakter pada usia dini sangat krusial dan berarti sangat fundamental karena di sinilah paling tidak ada empat koridor yang perlu dilakukan, yaitu menanam tata nilai, menanam kebiasaan, serta memberi teladan. Keempat koridor ini dimaksudkan untuk mentransformasikan tata nilai dan membentuk karakter anak pada usia dini sehingga tidak mungkin hanya dilakukan oleh seorang pembantu. Ironisnya, dalam kehidupan modern ini, pembantu justru menjadi lingkungan (pengaruh) terdekat selama paling tidak 12 jam sehari dan lima hari seminggu. Maka, kita tidak perlu sakit hati bila muncul cibiran yang mengatakan bahwa karakter anak-anak kita justru lebih mirip dengan karakter pembantu.
Pembangunan karakter harus dilanjutkan pada tahap pengembangan pada usia remaja. Sayangnya, lingkungan dan kondisi masyarakat kita sangat tidak kondusif untuk mencapai tujuan pembangunan karakter. Hal ini dapat kita kaji lewat keempat koridor tadi. Koridor tata nilai: berubahnya orientasi tata dari idealisme, harga diri, dan kebanggaan, menjadi orientasi pada uang, materi, duniawi, dan hal-hal yang sifatnya hedonistis. Dalam koridor kebiasaan, masih cukup banyak dikembangkan kebiasaan-kebiasaan yang salah, seperti tidak menepati waktu, ingkar janji, saling menyalahkan, dan mengelak tanggung jawab. Dalam koridor memberi teladan, ternyata dalam kehidupan bermasyarakat kita masih sangat langka adanya teladan (Hargens, Boni, 2004).
Lemahnya kondisi sosial masyarakat yang mendukung tahap pengembangan menyebabkan terganggunya tahap pemantapan. Apa yang akan dimantapkan jika dalam tahap pembentukan dan pengembangan yang tumbuh adalah low trust society (masyarakat yang saling tidak mempercayai, tidak ada saling menghargai) yang menunjukkan tidak terbangunnya karakter secara baik dalam kehidupan kita berbangsa dan bernegara.
Rusaknya karakter bangsa ini salah satu sebab yang menimbulkannya adalah krisis, akan tetapi akar permasalahan dari hal ini ada pada diri manusia sendiri. bukan tidak mungkin apa yang telah kita lakukan selama ini juga merupakan penunjang dan pemicu dari hilangnya identitas dan jati diri bangsa. Rakyat Indonesia tidak lagi memikirkan dan berusaha untuk membangun karakter bangsa ini, bahkan cenderung telah diabaikan (Huntington, Samuel P., 1991).
Mengembalikan budaya bangsa harus diarahkan pada satu tujuan yang menjadi cita-cita nasional, yaitu tatanan negara yang mengandung nilai, paradigma, dan perilaku yang unggul. Semua hal itu harus menjadi budaya dalam kehidupan bangsa sehingga dapat mengembalikan jati diri bangsa. Untuk menentukan strategi yang tepat dalam pencapaian tujuan dan mengembalikan jati diri bangsa, terlebih dahulu harus mengenal budaya yang ada di masyarakat Indonesia (Soedarsono, H Soemarno. 2006).
Menurut Rajasa,M.H ( 2009), pembinaan moral dan karakter bangsa sangat terkait erat dengan peningkatan kualitas pembangunan pendidikan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu maka pemerintah telah menetapkan bahwa pembangunan pendidikan harus diarahkan pada tiga hal pokok, yaitu: Pertama, pendidikan sebagai sarana untuk membina dan meningkatkan jati diri bangsa untuk mengembangkan seseorang sehingga sanggup mengembangkan potensi yang berasal dari fitrah insani, dari Allah SWT. Pembinaan jati diri akan mendorong seseorang memiliki karakter yang tangguh yang tercermin pada sikap dan perilakunya. Kedua, pendidikan sebagai media utama untuk menumbuhkembangkan kembali karakter bangsa Indonesia, yang selama ini dikenal sebagai bangsa yang ramah tamah, bergotong-royong, tangguh, dan santun. Ketiga, pendidikan sebagai tempat pembentukan wawasan kebangsaan, sehingga dapat dibangun masyarakat yang saling mencintai, saling menghormati, saling mempercayai, dan bahkan saling melengkapi satu sama lain, dalam menyelesaikan berbagai masalah pembangunan.
Hal itu dapat dilakukan dengan terus memberikan pencerahan, bimbingan, dan pembinaan kepada para generasi muda kita sehingga mampu melakukan proses pembelajaran adaptif yang akan menyesuaikan perkembangan pembinaan karakter positif bangsa sesuai dengan kemajuan zaman. Pembangunan karakter juga perlu dilakukan sejak dini melalui proses pembelajaran di sekolah.
Pembangunan karakter harus dilanjutkan pada tahap pengembangan pada usia remaja. Sayangnya, lingkungan dan kondisi masyarakat kita sangat tidak kondusif untuk mencapai tujuan pembangunan karakter. Hal ini dapat kita kaji lewat berbagai koridor. Koridor tata nilai: berubahnya orientasi tata dari idealisme, harga diri, dan kebanggaan, menjadi orientasi pada uang, materi, duniawi, dan hal-hal yang sifatnya hedonistis. Dalam koridor kebiasaan, masih cukup banyak dikembangkan kebiasaan-kebiasaan yang salah, seperti tidak menepati waktu, ingkar janji, saling menyalahkan, dan mengelak tanggung jawab. Dalam koridor memberi teladan, ternyata dalam kehidupan bermasyarakat kita masih sangat langka adanya teladan.
Mengajak generasi muda tampil memiliki jati diri dan siap menjadi pemimpin yang berkarakter, siap menggemakan semangat bangkit dari keterpurukkan, siap menggelorakan semangat Sumpah Pemuda yang berarti menggelorakan diwujudkan bertumbuhkembangnya karakter dan jati diri bangsa secara nyata sebagai upaya menyelamatkan kehidupan berbangsa dan bernegara untuk kemudian menjadi bangsayang maju dan jaya.Kapan kita akan memulai perubahan? Ada kata bijak: apabila kita ingin merancang pemikiran jangka panjang adalah tidak berpikir apa yang akan kita lakukan besok, tetapi berpikir apa yang dapat diperbuat hari ini, sekarang ini untuk bisa mendapatkan hari esok.
Dewasa ini terjadi kondisi yang mengarah pada rusaknya karakter bangsa. Rusaknya karakter bangsa ini salah satu sebab yang menimbulkannya adalah krisis, akan tetapi akar permasalahan dari hal ini ada pada diri manusia sendiri. bukan tidak mungkin apa yang telah kita lakukan selama ini juga merupakan penunjang dan pemicu dari hilangnya identitas dan jati diri bangsa. Sebagian rakyat Indonesia tidak lagi memikirkan dan berusaha untuk membangun karakter bangsa ini, bahkan cenderung telah diabaikan.
Lembaga pendidikan baik formal maupun non formal sebagai suatu sistem dapat berpengaruh terhadap pembentukan sikap, karena dalam proses pembelajarannya juga menekankan pada aspek moral dan sikap. Oleh karena itu, pada saatnya nanti hasil pembelajaran tersebut dapat menentukan sikap independen atau kelompok terhadap hal tertentu .Keberhasilan dalam merubah sikap di samping dipengaruhi oleh pribadi yang hendak diubah, juga tergantung pada kemampuan persuasif individu (model manusia) yang ingin membantu merubahnya (Gagne, 1984).
Menurut Gagne (1984), salah satu metode yang dapat diandalkan dalam perubahan sikap adalah model manusia. Dalam pembelajaran ini belajar merupakan hasil dari meniru perilaku orang yang dijadikan model atau lebih tepat meniru pilihan tindakannya. Dasar desain untuk memodel manusia ini menurut Gagne adalah sebagai berikut: “Seseorang yang dikagumi, dihormati, atau dipandang memiliki kredibilitas diamati (oleh satu atau beberapa siswa) untuk menampilkan tingkah laku tertentu atau melakukan pilihan tindakan pribadi tertentu”.
Penerapan metode human modeling dalam character building dan dalam kegiatan pembelajaran dapat dilaksanakan secara demonstrasi, peragaan, atau komunikasi terhadap pilihan yang diinginkan terhadap tindakan pribadi (sikap) oleh seseorang yang dihormati atau dikagumi. Orang yang dijadikan model bisa orang tua, guru, tokoh yang terkenal, atau populer, atau setiap orang yang dapat membangkitkan kepercayaan dan signifikan dapat dipercaya.