Beredarnya narasi hoaks terkait vaksin dan tes Covid-19 nyatanya tak hanya terjadi di Indonesia saja. Nyatanya, salah seorang warga Korea menyebarkan narasi yang memelintir hasil penelitian dari Universitas Johns Hopkins, Amerika Serikat.
Secara singkat, narasinya menjelaskan bahwa tes Polymerase Chain Reaction atau PCR adalah vaksinasi terselubung. Jadi setiap kali seseorang melakukan tes PCR, maka ia juga memperoleh vaksin dari tes itu. Lebih lanjut dijelaskan juga bahwa pihak Universitas Johns Hopkins menolak semua tes PCR karena membahayakan pasien apabila terus-menerus memperoleh vaksin dari tes PCR.
Berikut narasi terjemahan lengkap yang ditulis Bosik Choi pada 6 Februari lalu di sebuah grup anti vaksin:
“Menerima ##PCRTest sama seperti mendapatkan vaksin
Peneliti dari Johns Hopkins mengungkapkan hal yang sama##
Tes PCR juga berbahaya, tolak semua
Para peneliti di Universitas Johns Hopkins melakukan tes PCR. Menerima itu seperti mendapatkan vaksin. Aku hanya bilang, “Jeno penyanyi sesungguhnya”
PCR tidak berarti itu berbahaya jika ditolak semuanya!!
Sebuah studi di Universitas Johns Hopkins menemukan bahwa memperoleh tes PCR seperti mendapatkan vaksin
Sumber: Truth Singer Festival”
Di akhir narasi, pemilik akun Facebook turut menyertakan laman The Naver Blog yang memuat artikel Bahasa Inggris, untuk memperkuat argumennya. Melalui laman yang disertakan Choi, disebutkan bahwa peneliti dari Universitas John Hopkins sedang mengembangkan sebuah teknologi baru yang dapat memberikan vaksinasi secara tertutup melalui tes PCR.
Adapun perangkat yang digunakan bernama Theragrippers, sebuah perangkat berukuran mikro, berbentuk bintang bersudut enam, terbuat dari logam dan film tipis yang dapat berubah bentuk dan dilapisi dengan lilin dari kerosin yang sensitif terhadap panas. Begitu kecilnya alat itu, hingga ukurannya tidak lebih besar dari partikel debu.
Cara kerja alat itu, dimulai dengan dimasukkannya obat ke dalam pusat Theragripper yang berbentuk bintang. Apabila Theragripper sudah masuk ke dalam tubuh manusia, maka panas tubuh akan melelehkan lapisan kerosin di bagian luar Theragripper, dan secara otomatis menutup keenam sudut Theragripper.
Selanjutnya, alat itu akan menempel pada usus besar, di mana secara bertahap akan mengeluarkan obat dalam pusat Theragripper ke dalam tubuh. Ketika alat sudah kehilangan cengkeramannya di usus besar, maka akan dikeluarkan dari usus besar melalui pergerakan usus secara normal.
Hal yang menjadi perhatian utama dari artikel itu, adalah penjelasan Universitas Johns Hopkins yang memasukkan Theragrippers ke tubuh manusia melalui kapas usap (cotton swab). Penelitian itu dilakukan pada 28 Oktober 2020 lalu dan teknologi ini dinyatakan dapat bekerja dengan sempurna.
Adapun dalam laporan penelitian itu, disebutkan bahwa Theragrippers adalah sebuah alat terapi mekanokimia aktif yang diilhami parasit GI. Alat tersebut dapat bertahan 24 jam di saluruan pencernaan hewan, hidup secara mandiri mengikuti jaringan mukosa
“Hasil ini memberikan bukti yang sangat baik bahwa perangkat mikro yang berubah bentuk dan mengunci sendiri, dapat meningkatkan efektivitas pemberian obat jangka panjang,” ujar peneliti yang dikutip laman The Naver Blog.
Penelusuran
Melalui AFP, pihak John Hopkins University menyatakan bahwa studi tersebut sudah digunakan secara tidak tepat untuk menyebarkan sebuah misinformasi. Penelitian ini juga tidak menyebutkan mengenai vaksin Covid-19 atau tes PCR, meski Theragrippers dapat digunakan untuk memasukkan obat ke dalam tubuh.
“Theragrippers tidak pernah dicoba ataupun digunakan untuk pemberian vaksin. Teknologi ini hanya digunakan dalam pengaturan laboratorium dan masih belum disetujui untuk digunakan kepada mausia,” kata juru bicara Universitas Johns Hopkins kepada AFP.
Meski begitu, narasi tersebut tidak hanya bergaung di Negeri Ginseng saja, seorang dokter di Amerika bernama Lorraine Day juga pernah mengutarakan narasi serupa. Narasi tersebut, ramai tersiar di Facebook sejak Desember 2020 dan organisasi kesehatan dunia alias WHO sudah menampik pernyataan tersebut.
Tenaga medis WHO di Afrika, Phionah Atuhebwe juga menjelaskan kepada AFP bahwa sejauh ini belum dapat dibuktikan bahwa vaksin dapat diberikan melalui usapan (swab) dalam PCR. “Swab digunakan untuk mengumpulkan sampel (virus), bukan untuk memberi vaksin,” ujarnya.
Sejauh ini, pemberian vaksin di seluruh dunia dilakukan melalui injeksi intramuskular di lengan manusia. Metode ini dilakukan karena dalam veverapa vaksin yang mengandung mRNA, injeksi ke dalam otot itu diperlukan karena sel akan memproduksi protein ‘spike’ yang akan membantu memperkuat sistem imun.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelusuran tersebut, maka disimpulkan bahwa klaim melakukan tes PCR adalah sama dengan mendapatkan vaksinasi, merupakan informasi yang salah. Informasi itu juga termasuk ke dalam kategori konten yang menyesatkan, sebagaimana dikonfirmasi Satuan Tugas Penanganan Covid-19 melalu laman Covid-19.go.id.
Mengutip laman Kemenkes, hingga Sabtu (12/3) sebanyak 92,89 % warga Indonesia sudah menerima vaksin dosis I dan 72,8 % menerima vaksin dosis II. Sementara itu untuk vaksin dosis III atau booster masih sangat minim, di angka 6,67 %.