Kesadaran masyarakat mengenai energi hijau semakin hari menunjukkan sisi positif. Hal itu diketahui dengan meningkatnya permintaan kendaraan listrik-electric vehicle (EV).
Chief Operating Officer Hyundai Motor Asia Pacific, Lee Kang Hyun mengatakan, tren EV semakin berkembang seiring meningkatnya pengetahuan masyarakat mengenai energi hijau yang ramah lingkungan.
"Mengurangi emisi karbon dan sesuai dengan Perjanjian Paris pada 2015," kata Lee dalam webinar Indonesia Data and Economic Conference (IDE) Katadata 2022 dengan tema "The Future of Automotive and Mobility", Rabu (6/4/2022).
Lee menjelaskan, pasar kendaraan listrik di dunia sangat besar. Penjualan mobil listrik tahun lalu di dunia sejumlah 6 juta unit. Dibandingkan tahun sebelumnya, penjualan tersebut naik 110 persen.
"Berarti kenaikan mobil listrik luar biasa. Perkembangannya memang luar biasa," ujar Lee.
Ia menambahkan, di Indonesia, pembelian mobil listrik bisa naik dua kali lipat. Pasalnya, tren di Eropa dan Cina, mobil berbahan bakar minyak tidak dijual lagi. Di Amerika, pemerintah diminta membeli mobil listrik dan bukan gasoline.
Lee menjelaskan, perkembangan mobil listrik di dunia tidak terlepas dengan dukungan pemerintah negara setempat berupa kebijakan memberi subsidi pembelian mobil listrik.
"Tiap negara memberi subsidi kepada pembeli mobil listrik. Kita mau tidak mau arahnya ke mobil listrik untuk masa depan," ungkapnya.
Lee mengakui bahwa tantangan utama dalam penjualan mobil listrik adalah harga mobil. Meski konsumen tertarik dengan mobil listrik yang ramah lingkungan, namun ketika melihat harga mobil dan kemudian membandingkan dengan harga unit mobil lainnya, mereka akan beralih. "Harga mobil paling penting," kata dia.
Lee mengatakan, harga mobil listrik dipengaruhi harga baterai. Sebab harga mobil listrik, sekitar 35-40 persen merupakan harga baterai. Jika harga baterai turun, akan mempengaruhi harga mobil listrik.
"Dulu harga baterai di level 150 dolar AS per kWh. Harga pasar baterai saat ini 135 dolar per kWh. Kalau pada 2024 dan 2025 harga baterai bisa turun menjadi 90-100 dolar AS per kWh, maka akan mempengaruhi harga mobil. Ini membantu konsumen saat memilih mobil listrik," paparnya.
Di Indonesia, kata Lee, pemerintah tidak memberi subsidi mobil listrik. Meski demikian, Indonesia memiliki sumber daya alam berupa nikel yang dibutuhkan untuk baterai. Indonesia
hampir menguasai 30% nikel secara global.
Ia optimistis Indonesia yang fokus pada mengembangkan industri hulu hingga hilir menjadikan Indonesia bisa memasuki fase untuk menggunakan baterai litium sebagai komponen utama kendaraan listrik di masa depan.
"Untuk memenuhi kebijakan membangun lingkungan kendaraan listrik, baterai kendaraan listrik, dan TKDN di Indonesia. Hyundai Motor bersiap memainkan peran utama sebagai 'game changer' di era mobil listrik murni untuk menandai eksistensi mobilitas masa depan di Indonesia," ujarnya.
Selain harga mobil, menurut Lee, tantangan penjualan mobil listrik adalah stasiun pengisian baterai. Untuk itu, Hyundai melakukan kolaborasi dengan Perusahaan Listrik Negara (PLN). PLN memasang stasiun pengisian baterai di tol. Bahkan dalam rangka G20, sudah hadir stasiun pengisian baterai di Bali.
"Sebenarnya bisa satu mobil diisi di rumah atau di kantor. Karena ada sistem charging yang mudah bisa dipasang dari listrik rumah. Satu unit mobil diisi untuk 450-500 Kilometer. Berarti memang di Jakarta seminggu satu atau dua kali charging. Belakangan harga BBM naik, bisa dibandingkan biaya BBM dengan mobil listrik. Sangat berbeda," jelasnya.