Minyak Jelantah Bisa Jadi Bahan Baku Biodiesel Rendah Emisi

Katadata
Penulis: Hanna Farah Vania - Tim Publikasi Katadata
7/4/2022, 19.58 WIB

Indonesia mengembangkan biodiesel sebagai upaya peralihan dari sumber energi fosil ke energi baru dan terbarukan, sekaligus untuk mengurangi emisi.

Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), persentase Energi Baru Terbarukan (EBT) Tanah Air mencapai 11 persen dari total bauran energi primer dan biodiesel menyumbang 35 persen dari total EBT tersebut.

Minyak sawit (crude palm oil/CPO) dipilih sebagai bahan baku biodiesel karena produksinya yang besar di Tanah Air. Namun, penggunaan CPO sebagai bahan baku tunggal biodiesel justru berisiko terhadap lingkungan. Minyak goreng bekas atau Used Cooking Oil (UCO) dapat menjadi solusi untuk mengatasi tantangan tersebut, sekaligus menjadikan biodiesel semakin berkelanjutan dan rendah emisi.

Dalam diskusi IDE Katadata 2022 yang bertajuk “Green Circular Economy: Utilizing Used Cooking Oil (UCO) as a Low Emission Feedstock for Sustainable Biofuel” pada Kamis (7/4), Research Manager Traction Energy Asia Fariz Panghegar menyebutkan, ketika CPO menjadi bahan baku utama biodiesel, justru akan mengakibatkan timbulan emisi yang tinggi.

Bahkan, penggunaannya dapat melampaui emisi dari solar konvensional. Hal ini diakibatkan oleh perluasan perkebunan sawit ke hutan dan lahan gambut, serta limbah dari sistem produksi yang tidak berkelanjutan. Untuk tetap memenuhi kebutuhan biodiesel, UCO sebagai limbah cair dari kegiatan memasak dapat menjadi bahan baku komplementer.

Berdasarkan hasil riset Traction Energy Asia, penggunaan UCO sebagai bahan baku biodiesel dapat menurunkan timbulan emisi hingga 49 juta Kg CO2 eq. Adapun pemerintah menargetkan penurunan emisi sektor energi 2022 sebesar 91 juta ton CO2.

Dalam diskusi ini, Traction Energy Asia memperlihatkan dua skenario dan hasilnya. Pertama, biodiesel dengan campuran CPO dan UCO dapat menurunkan emisi 8 sampai 24 persen dari total target penurunan emisi sektor energi jika persentase biodiesel UCO ditambahkan sebanyak 10-30 persen dalam produksi B30 saat ini.

Kedua, biodiesel yang terdiri dari masing-masing B30 dari CPO dan B30 dari UCO mampu menurunkan emisi 2,4 sampai 24 persen dari total target penurunan emisi sektor energi jika menambahkan 10 sampai 100 persen bahan baku biodiesel UCO dalam produksi B30.

“Jadi, terkait capaian kebijakan BBN nasional, angka penurunan emisi GRK di sektor energi dapat meningkat dengan menambahkan produk berbahan bakar berbasis UCO,” ucapnya.

Fariz menambahkan, terdapat sejumlah manfaat penggunaan UCO sebagai bahan baku komplementer biodiesel. Selain dapat menghemat anggaran pengadaan BBN nasional mencapai Rp 4 triliun, pemanfaatan UCO juga merupakan kegiatan ekonomi sirkular. Kegiatan ini dapat memberikan penghasilan tambahan bagi unit rumah tangga dan usaha penghasil UCO.

“Potensi ketersediaan rumah tangga dan unit bisnis skala mikro mencapai 1,2 juta kilo liter per tahun. Kami asumsikan, ini dapat menghasilkan 954.751 kilo liter UCO sebagai bahan baku pengganti biodiesel,” katanya.

Menurut Kepala Kajian Ekonomi Lingkungan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) Alin Halimatussadiah, rumah tangga memiliki peran strategis untuk menyalurkan minyak jelantahnya. Sebab, rumah tangga juga akan merasakan manfaat lingkungan dan kesehatan.

Oleh karena itu, Alin menyebutkan bahwa perilaku rumah tangga dalam pengumpulan UCO perlu diantisipasi. Terdapat biaya tertentu yang perlu dikeluarkan untuk mengumpulkan UCO dari kualitas yang bervariasi, titik pengambilan yang beragam, dan kemauan untuk menjual yang berbeda-beda.

“Sehingga, para pemain perlu memperhatikan berbagai hal terkait perilaku rumah tangga, sistem logistik dan insentif yang akan diberi nantinya,” ucap Alin.

Oleh sebab itu, peluang penggunaan UCO sangat besar. Namun masih terkendala ketiadaan regulasi menetapkan UCO sebagai limbah yang dapat menjadi bahan baku komplementer BBN. Di sisi lain, pemerintah tengah melakukan sejumlah upaya.

Pemerintah, melalui Kementerian ESDM saat ini mengembangkan BBN berkelanjutan dengan menerapkan Indonesian Bioenergy Sustainability Indicators (IBSI). Di dalamnya terdapat sejumlah indikator terkait lingkungan, sosial, dan ekonomi yang harus dipenuhi pelaku usaha untuk mewujudkan biodiesel berkelanjutan.

Direktur Bioenergi Kementerian ESDM Edi Wibowo dalam kesempatan yang sama juga menjelaskan bahwa pengaturan insentif untuk biodiesel berbasis UCO memang perlu disempurnakan. Ke depannya perlu ada sinergi penta-helix dari berbagai pihak seperti pemerintah daerah dan pusat, pelaku usaha, badan penelitian dan pengembangan, media, hingga masyarakat. Ia juga menyebutkan terdapat sejumlah regulasi yang perlu disiapkan oleh pemerintah pusat.

“Pemerintah pusat perlu menyiapkan beberapa regulasi terkait kebijakan pemanfaatan UCO untuk biodiesel seperti tata niaga, standar, registrasi, serta setifikasi produsen biodiesel dan insentifnya,” katanya.

Dari sisi pemain, Pertamina kini tengah mengembangkan biorefinery atau kilang hijau yang menjadi strategi mempercepat target bauran EBT nasional pada 2025. Biorefinery merupakan proyek energi bersih Pertamina dengan pengolahan kilang menggunakan bahan baku terbarukan dari minyak sawit, termasuk UCO.

Specialist II Renewable Energy Development Research Pertamina Bayu Prabowo menyebutkan, UCO berpotensi besar menjadi bahan baku komplementer. Namun, ada sejumlah hal yang perlu dipersiapkan sebelum mengembangkannya.

Sebab, pengembangannya membutuhkan rute yang lebih panjang karena ada proses yang perlu ditambahkan, yaitu proses water removal menghilangkan unsur air dari UCO dan esterifikasi. Bayu menyebutkan, hal ini akan berimplikasi ke peningkatan harga karena membutuhkan energi dua kali lipat lebih besar.

“Ini bukan untuk menutup peluang, tapi untuk mempertimbangkan aspek yang perlu diantisipasi dan ke depannya akan dikembangkan bersama-sama,” ujarnya.