Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) menjadi undang-undang dalam sidang paripurna, Selasa (12/4).
Pengesahan dilakukan setelah Ketua DPR RI, Puan Maharani, meminta persetujuan setiap fraksi terkait RUU TPKS sebanyak dua kali.
"Kami akan menanyakan kepada setiap fraksi, apakah Rancangan Undang-Undang Tingkat Pidana Kekerasan Seksual dapat disahkan menjadi undang-undang?" Tanya Puan selaku pimpinan sidang di gedung Nusantara II, kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (12/4).
Para peserta sidang pun kompak menjawab setuju. Kemudian diikuti oleh ketukan palu pimpinan sidang, pertanda disahkannya Undang-Undang (UU) TPKS.
Usai mengesahkan UU TPKS, Puan menyampaikan bahwa pengesahan ini merupakan hadiah bagi seluruh perempuan Indonesia, khususnya menjelang Hari Kartini yang diperingati setiap 21 April. Dia menuturkan bahwa sebelum undang-undang ini disahkan, tidak ada tempat bagi korban kekerasan seksual untuk memperoleh perlindungan.
"Di Indonesia tidak ada tempat bagi kekerasan seksual. Kami berharap implementasi undang-undang ini dapat menghadapi kasus-kasus kekerasan seksual dan perlindugnan anak yang ada di Indonesia," ujarnya sambil terisak.
Sebelumnya, Wakil Ketua Badan Legislatif (Baleg) DPR, Willy Aditya menyampaikan laporan hasil pembahasan RUU TPKS yang telah diputuskan dalam Pembahasan Tingkat I.
Dalam laporannya, Willy menjelaskan bahwa RUU TPKS dapat menjadi payung hukum dan berpihak pada perspektif korban. Selain itu, kehadiran negara untuk menangani TPKS juga terlihat dari dana kompensasi yang termaktub dalam RUU TPKS.
Menurutnya, pembahasan UU TPKS berjalan cukup cepat, karena mulai dibahas bersama pemerintah pada akrhir Maret lalu, tepatnya Kamis (24/3). Kemudian pada Senin (28/3), sudah dilakukan pembahasan mengenai substansi. Lalu pada 29 Maret sampai 5 April dilakukan pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). Hingga pada Rabu (6/4) dilaksanakan rapat pleno pembahasan RUU TPKS pada Tingkat I oleh Baleg DPR.
"Inilah pencapaian kita bersama. Semoga menjadi langkah awal bagaimana peradaban kita memuliakan perempuan dan anak," kata Willy.
Dalam sidang paripurna tersebut, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), I Gusti Ayu Bintang Darmawati turut menyampaikan pandangan terakhir dari UU TPKS.
Baginya, undang-undang ini merupakan landasan yang utuh, adil, dan formil bagi para korban TPKS, sehingga dapat memberikan kepastian hukum kepada masyarakat.
Di dalam UU TPKS, terdapat beberapa pasal yang dianggap sebagai terobosan dalam hal perlindungan perempuan dan anak, di antaranya:
• Pengualifikasian TPKS dan tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai TPKS sebagaimana diatur dalam undang-undang lainnya.
• Pengaturan hukum acara yang komprehensif dengan tetap memperhatikan hak asasi manusia (HAM), penghormatan, dan tanpa intimidasi.
• Pengakuan penjaminan hak korban sejak terjadinya TPKS dan dilaksanakan sesuai kondisi serta kebutuhan korban.
• Pemberian restitusi oleh pelaku TPKS.
• Jika harta kekayaan pelaku tidak mencukupi, negara memberikan kompensasi kepada korban sesuai putusan pengadilan.
• Perkara TPKS tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar proses peradilan, kecuali terhadap anak.