Tahun 2020 merupakan awal bagi Indonesia untuk menjalankan berbagai pembatasan akibat pandemi Covid-19. Sejak saat itu, para siswa dan guru mulai dikenalkan dengan peraturan belajar dari rumah.
Sejalan dengan situasi tersebut, pendidikan digital atau education technology (edtech) mengalami pertumbuhan yang begitu pesat. Sektor ini mengusung pembelajaran hibrida atau hybrid learning.
Kini, pemerintah kembali membolehkan sekolah menjalani pembelajaran tatap muka seratus persen. Namun, dari pengalaman dua tahun melewati pandemi, berbagai pihak mulai merasakan manfaat hybrid learning alias pembelajaran hibrida. Yakni, penggabungan sistem pembelajaran secara daring dan luring.
Ketua Departemen Teknologi Pendidikan Universitas Negeri Malang Henry Praherdhiono dalam siniar podcast Dikti Menyapa mengatakan, pandemi mengenalkan masyarakat kepada istilah blended learning, hybrid learning, seamless learning dan metaverse learning. Blended learning bermakna sama dengan hybrid learning.
Sementara seamless learning ialah model pembelajaran yang membuka bendung pendidikan formal dan informal. Belajar bisa dilakukan di manapun, baik di kampus, rumah hingga kafe. “Sekarang banyak orang yang justru melarikan diri. Di dunia nyata tidak diakui dan pindah ke dunia virtual. Itu yang disebut metaverse (learning)," tutur Henry.
Strategi belajar secara hibrida tak hanya dilakukan di sekolah. Pelaku edtech startup pun ikut menggelar pembelajaran dengan sistem tersebut. Zenius misalnya, menerapkan strategi hibrida dengan cara mengakuisisi lembaga pendidikan luar sekolah Primagama.
“Kami sangat percaya bahwa model pembelajaran hibrida memberikan hasil terbaik bagi siswa,” kata Chief Executive Officer (CEO) Zenius Rohan Monga, Senin (7/3/2022).
Primagama memiliki lebih dari 300 cabang, 3.000 pengajar dan 30.000 siswa per tahun. Zenius juga menargetkan satu outlet di setiap kota/kabupaten di seluruh Indonesia pada 2024 mendatang dengan model bisnis franchise.
Sejak pandemi, bukan hanya platform edtech yang kian diminati masyarakat. Berbagai platform media sosial pun semakin banyak menjadi sumber ilmu. YouTube menyediakan berbagai konten yang bisa meningkatkan pengetahuan. Google dan LinkedIn juga menyediakan jaringan dan kelas kursus bagi penggunanya.
Baik dari platform edtech maupun media sosial, para pengguna tak hanya bisa belajar dari mana saja. Mereka juga dapat bertemu komunitas pembelajar yang memiliki kesamaan minat.
Adapun, Chief Operating Officer (COO) Sekolah.Mu Radinka Qiera dalam diskusi Scaled Up Growth Program, Jumat (11/3/2022), mengatakan bahwa teknologi bisa membantu akselerasi akses pendidikan.
Menurutnya, hasil perubahan ke arah digital di bidang pendidikan bersifat jangka panjang, tidak seperti transformasi di sektor lain, seperti finansial, yang bisa diukur keberhasilannya dengan lebih cepat.
Startup pendidikan juga membantu sekolah untuk beralih dan lebih akrab dengan dunia digital. “Bulan pertama, orang tua bilang (fitur aplikasi) ‘kurang ini dan itu’. Setelah enam bulan, tools semakin banyak dan murid sudah bisa beradaptasi,” ucap Radinka.
Ia mengimbuhkan, sekolah seringkali menjadi pihak yang paling lama beradaptasi dengan teknologi. Sebelum pandemi pun, edtech startup sempat mengalami penolakan oleh berbagai institusi pemerintah karena dianggap belum begitu diperlukan. Padahal, posisi industri edtech bukan menggantikan sekolah, tetapi membantu guru dan sekolah.
Pemerintah dinilai perlu mempersiapkan sistem pendidikan berbasis teknologi untuk mendukung kesuksesan pembelajaran secara daring maupun luring. Menurut peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Nadia Fairuza, pandemi Covid-19 seharusnya menyadarkan pemerintah tentang pentingnya mengintegrasikan teknologi dalam proses pembelajaran.
Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk menjaga kualitas pendidikan dan meminimalisasi dampak berkurangnya pengetahuan dan keterampilan secara akademis (learning loss). Dalam siaran persnya, Nadia menyebutkan, penggunaan edtech dalam mendukung hybrid learning dibutuhkan untuk mengadaptasi disrupsi pada sektor pendidikan.
Sementara itu, penguasaan kompetensi digital siswa juga perlu dipersiapkan. Dimulai dengan penerapan kurikulum yang mengadopsi kompetensi abad 21, termasuk kemampuan digital untuk mengoperasikan teknologi. Di sisi lain, perusahaan edtech perlu memperhatikan kemampuan sekolah dalam membeli fasilitas edtech untuk menunjang pembelajaran.
Nadia mengakui bahwa ada kesenjangan dalam lanskap pendidikan nasional, terutama dalam hal pengembangan keterampilan digital. Ia berharap pemerintah mempersempit kesenjangan digital antar daerah.
Upaya untuk mengikis kesenjangan itu sebelumnya sudah dilakukan lewat pembelajaran secara hibrida. Dari situ, siswa dapat mengakses pelajaran tidak hanya secara daring, namun juga secara luring.
“Kesenjangan sudah terbukti menjadi hambatan dalam memaksimalkan upaya peningkatan kualitas pendidikan yang dalam konteks pandemi, dilakukan melalui blended learning,” tutur Nadia.