Meski terasa cepat, transformasi digital di Indonesia menyisakan sejumlah tantangan yang harus diatasi. Ketimpangan digital adalah salah satunya. Hingga hari ini, masih banyak penduduk Indonesia yang belum bisa menikmati buah dari kemajuan teknologi yang hadir.
Sebagai gambaran, data Kominfo menyebutkan bahwa hingga kini masih ada 12.548 dari 83.218 desa dan kelurahan di Indonesia yang belum bisa menikmati layanan internet broadband atau blank spot. Dari jumlah tersebut, 3.435 desa dan kelurahan berada di wilayah komersial, termasuk di ibu kota negara yakni Pulau Seribu. Sementara itu, 9.113 lainnya berada di wilayah 3T (terdepan, terluar, tertinggal).
Bank Dunia menyatakan, ketimpangan digital dapat memperluas jurang ketimpangan sosial dan menghambat pertumbuhan ekonomi. Hal itu karena kesempatan yang ada, terutama dalam hal ekonomi, akan lebih mudah dimanfaatkan oleh mereka yang memiliki akses internet ketimbang mereka yang tidak.
Mengutip pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam G20 High-Level Seminar on Digital Infrastructure: Closing the Digital Divide pada Kamis (9/6//2022), populasi penduduk dunia yang dapat mengakses internet naik menjadi 63 persen pada tahun 2021. Namun demikian, masih ada 37 persen populasi yang belum bisa mengakses internet sehingga perlu perhatian khusus.
“Jadi kesenjangan tidak hanya terjadi antarnegara, yaitu antara negara kaya, negara berpenghasilan menengah, dan negara berpenghasilan rendah, tetapi juga di negara-negara dengan pengguna internet di perkotaan lebih tinggi dua kali daripada di pedesaan,” papar Sri Mulyani.
Ia pun menegaskan, pembahasan G20 adalah untuk mencari solusi dalam rangka mempersempit kesenjangan digital. Hal ini penting agar masalah ketimpangan digital tidak semakin memburuk.
Isu ketimpangan digital juga disinggung dalam dalam pertemuan Digital Economy Working Group (DEWG) G20 yang digelar tahun ini. Pertemuan tersebut membahas tiga isu prioritas, yaitu konektivitas dan pemulihan pasca Covid-19, keterampilan digital dan literasi digital, serta aliran data dengan kepercayaan dan aliran data lintas batas.
Dalam pertemuan itu, Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate menegaskan bahwa pihaknya terus bekerja keras untuk menyelesaikan masalah ketimpangan digital. “Kesenjangan digital masih menjadi tantangan. Dan, bahkan lebih sedikit lagi yang memiliki akses ke internet broadband tetap,” ujarnya dalam keterangan pers.
Salah satu upaya yang ditempuh pemerintah adalah dengan pengadaan infrastruktur digital secara masif berupa kabel serat optik baik di darat dan laut, satelit high throughput, serta pembangunan BTS (base transceiver station/stasiun pemancar).
Selain itu, Kementerian Kominfo juga berupaya menjalin kerja sama erat dengan negara-negara anggota G20 lainnya demi mendorong penyebaran infrastruktur digital secara besar-besaran.
Penyediaan akses digital yang inklusif akan membantu negara dalam menciptakan nilai ekonomi digital. Selain akses terhadap sumber pengetahuan akan lebih terbuka bagi berbagai kalangan, ketimpangan digital yang terus menyempit juga akan membantu penciptaan nilai ekonomi.
Misalnya, pelamar kerja akan lebih mudah mencari lowongan pekerjaan, begitupun pengusaha yang dimudahkan untuk mencari karyawan dengan cara memasang iklan lowongan kerja di media digital. Kemudian, penjualan produk yang memanfaatkan internet juga akan lebih mudah menjangkau calon konsumen yang lokasinya jauh dari lokasi produsen.
Di sisi lain, akses terhadap layanan kesehatan juga akan lebih mudah dijangkau oleh berbagai kalangan dengan kehadiran internet. Akses layanan pendidikan juga akan lebih terbuka secara luas jika masalah ketimpangan digital dapat diatasi.
Alternate Chair DEWG G20 Dedy Permadi menyatakan, negara-negara G20 memiliki kebutuhan khusus untuk meningkatkan keterampilan digital dan literasi digital. Dedy juga menyatakan bahwa literasi digital merupakan alat pemberdayaan untuk mencapai pembangunan ekonomi yang lebih inklusif.
Menurutnya, pandemi Covid-19 telah mempercepat adopsi teknologi berbasis internet. Dan, pada saat yang sama, momen ini juga sekaligus mengungkap masalah ketimpangan digital. Untuk itu, masing-masing negara memiliki tantangannya tersendiri perihal pemenuhan infrastruktur dan layanan digital.
Hal ini juga ditambah dengan fasilitas jaringan yang belum terjangkau bagi semua orang, serta kurangnya literasi digital masyarakat.
Untuk itu, selain membangun infrastruktur dan mengangkat isu ketimpangan digital dalam forum G20, upaya peningkatan kemampuan digital dilakukan Kementerian Kominfo dengan menginisiasi edukasi literasi digital lewat kerja sama dengan Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD) Siberkreasi.
Dalam kaitan dengan ekonomi, literasi digital berperan krusial dalam optimalisasi potensi ekonomi digital. Menurut laporan yang dirilis Google dan Temasek pada 2021, nilai ekonomi digital Indonesia saat itu mencapai US$70 miliar. Angka ini diproyeksikan naik menjadi US$230 miliar dalam skenario base case dan US$330 miliar dalam skenario high case.
Sementara bila bicara ketimpangan digital, literasi digital, khususnya di tingkat desa dapat mendorong transformasi serta inklusi ekonomi sehingga perputaran ekonomi digital tidak hanya terjadi di area urban.
Dalam program edukasi tersebut, Kementerian Kominfo menekankan empat pilar utama, yakni kemampuan digital (digital skills), etika digital (digital ethics), budaya digital (digital culture) dan keamanan digital (digital safety). Lebih jauh seputar implementasi pilar literasi digital dapat Anda simak melalui pranala info.literasidigital.id.
*