Presiden Joko Widodo dikabarkan akan mengumumkan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) pekan ini. BBM bersubsidi harus dinaikan untuk mengurangi beban keuangan negara untuk sektor energi yang sudah mencapai Rp 502,4 trilun pada tahun ini.
"Presiden sudah mengindikasikan. tidak mungkin kita mempertahankan harga yang terus demikian," kata Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan di Makassar, Jumat (18/8).
Jika terealisasi, maka Jokowi telah menaikkan harga BBM sebanyak dua kali sejak dirinya menjabat pada 2014. Meski demikian, kenaikan harga pada akhir 2014 juga berdampak pada kepuasan masyarakat.
Dari survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI), kepuasan responden terhadap Jokowi sempat anjlok hingga 44,4% di bulan November 2014. Sebagai perbandingan, dalam survei yang juga digelar LSI pada Juli 2022, sebanyak 64% responden puas atas kinerja mantan Wali Kota Solo itu.
Analis politik dari Exposit Strategic, Arif Susanto juga mengatakan tak ada waktu yang tepat untuk menaikkan harga BBM dari sisi kepuasan masyarakat. Meski demikian, ia melihat adanya sejumlah pertimbangan mengapa saat ini menjadi waktu yang ideal.
Pertama, adanya stabilitas kepuasan publik terhadap kinerja publik usai anjlok di saat pandemi. Kedua, koalisi partai politik yang realtif solid mendukung pemerintah.
"Terakhir, PKS dan Demokrat tidak terlalu kuat dan sepeti tak berminat mempolitisasi isu harga BBM," kata Arif kepada Katadata.co.id, Senin (22/8).
Bahkan, situasi politik akan lebih berat jika harga baru dinaikkan di bulan-bulan mendatang. Alasannya, polarisasi dari koalisi baru beberapa partai bisa memberikan gejolak. Belum lagi, adanya beberapa kepala daerah terutama di Jawa yang berakhir masa jabatannya bisa memberikan tekanan tersendiri.
"Sehingga pemerintah harus menghitung agar riak yang tidak besar ini menjadi gelombang," katanya.
Arif memprediksi akan ada tekanan terkait kepuasan masyarakat kepada Jokowi jika menaikkan harga BBM. Namun Presiden memiliki waktu minimal setahun untuk membalikkan situasi.
"Kalau soal daya beli itu bisa dijawab dalam waktu kurang dari setahun, maka bisa positif," katanya.
Pengamat komunikasi politik dari Universitas Paramadina, Hendri Satrio mengatakan Jokowi sudah tak seharusnya lagi memikirkan momentum dalam menaikkan harga BBM. Hal ini lantaran Presiden tak memiliki lagi beban politik.
"Karena Presiden sudah tak perlu lagi mempertimbangkan citra politik," kata Hendri kepada Katadata.co.id.
Hendri mengatakan, risiko politik dalam menaikkan BBM tentu saja ada. Meski demikian, Jokowi tetap perlu mengambil langkah yang tidak populer secara politik demi menyelamatkan keuangan negara. "Diumumkan saja, harus berani tidak populer," katanya.
Dia mengatakan dalam dua tahun ke depan, Jokowi harus memastikan dapat mengakhiri jabatannya dengan baik. Salah satunya memastikan anggaran negara tetap bisa sehat dari beban.
Hendri juga menyarankan, pemerintah tetap memberikan bansos secara beriringan dengan naiknya harga BBM. Hal ini merupakan bentuk kompensasi kepada masyarakat atas naiknya harga.