Sejarah Jalan Pantura tidak bisa dilepaskan dari cerita kelam pembangunana jalan Groote Postweg atau jalan raya pos. Jalan Pantura atau Pantai Utara menjadi salah satu jalur yang menghubungkan Cilegon, Jakarta, Semarang, Surabaya, hingga Banyuwangi. Meski jalan Tol Trans Jawa telah dibangun, pamor Jalan Pantura tidak berubah.
Jalur Pantura tetap ramai dengan berbagai macam geliat aktivitas masyarakat, khususnya bidang ekonomi. Jalan Pantura tidah hanya berisi hilir mudik kendaraan yang melintas saja, tetapi juga keberadaan warung-warung kelontong miliki masyarakat, tempat oleh-oleh, hingga tempat makan.
Tidak salah apabila Endah Sri Hartatik dalam bukunya yang berjudul "Dua Abad Jalan Raya Pantura" menyebut Jalan Pantura sebagai salah satu penggerak perekonomian warga di sekitarnya.
Sejarah Singkat Jalan Pantura
Pada masa Mataram, cikal bakal Jalan Pantura ini berfungsi untuk kepentingan konsolidasi kekuasaan antara wilayah pedalaman dan pesisir. Jalan Raya Pantura ini juga sebagai media penghubung untuk diplomasi antara Mataram dengan para utusan, baik dalam maupun luar negeri, seperti utusan kongsi dagang Hindia Timur atau VOC.
Mataram juga berusaha mengontrol wilayah pesisir dengan menempatkan orang yang dipercayainya. Kunjungan wajib pada hari-hari pisowanan merupakan cara Mataram untuk mengontrol kesetiaan wilayah Pesisir tersebut.
Dalam proses pengawasan ini, sarana transportasi darat berupa jalan raya yang menghubungkan Mataram dengan pesisir diperlukan. Jalan Raya Pantura juga menjadi sarana diplomasi antara orang Belanda dan Mataram.
Hal ini terlihat dari cerita perjalanan Hendrick de Haen yang ditunjuk menjadi duta VOC untuk Mataram pada 1621. Diceritakan bahwa ia berangkat dari Batavia menuju Tegal menggunakan jalur laut, sementara itu perjalanan dari Tegal menggunakan jalur darat.
Dia menggunakan armada kuda untuk sampai ke Mataram. Daerah pesisir tersebut kemudian secara bertahap jatuh ke tangan VOC sebagai imbalan atas bantuannya kepada raja-raja Mataram sepeninggal Sultan Agung. Di wilayah Pesisir Utara yang dikuasai VOC ini terdapat jalur darat yang kelak jadi Jalan Raya Pantura.
Jalan Pantura, Jawa Tengah pertama kali disebut dalam Majalah Indie dengan judul Een en Ander Over het Verkeerwezen in Noord-Midden Java (Satu dan Lain Hal tentang Pengangkutan di Pantai Utara Jawa Tengah) yang terbit pada April 1923.
Jalan Pantura pertama kali dibangun sebagai Jalan Raya Pos. Jalan Raya Pos merupakan jalur yang dibangun oleh Herman Willem Daendles, Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang berkuasa pada tahun 1808- 1811.
Daensles membangun Jalan Raya Pos dengan tujuan untuk menghubungan Buitenzorg (Bogor) dengan Karangsambung. Pembangunan Jalan Raya Pos terisnpirasi dari Prancis yang pada saat itu memiliki infratruktur jalur yang begitu rapi dalam menghubungkan 25 kota di Eropa.
Daendles juga terpesona akan keberadaan jalan trans yang menghubungkan Paris, Prancis dan Amsterdam, Belanda yang sempat dilaluinya saat menghadap Kaisar Perancis Napoleon I atau Napoleon Bonaparte.
Dibangun Melalui Kerja Paksa
Meskipun Jalan Raya Pos yang kini dikenal sebagai Jalan Pantura memiliki banyak manfaat bagi perekonomian masyarakat khususnya Pulau Jawa. Jalan Pantura ternyata dibangun dengan keringat, darah, dan nyawa para pekerja, terutama kaum pribumi yang menjadi buruh kerja paksa.
Pramoedya Ananta Toer dalam buku "Jalan Raya Pos Jalan Raya Daendels" menceritakan kondisi para pekerja yang tewas karena kelelahan dan diserang penyakit malaria lantaran iklim dan kondisi Jawa saat itu masih dipenuhi rawa dan hutan.
Pembangunan yang melibatkan kekuasaan pemerintah daerah dilakukan atas dasar keterbatasan dana yang dibawa Daendels dari Kerajaan Belanda. Dana awal yang Daendles bawa hanya sebesar 30.000 ringgit, hanya cukup untuk melakukan perapihan jalan dari Batavia (Jakarta) menuju Buitenzorg (Bogor).
Pada 1808, Daendles mengumpulkan seluruh bupati di Pulau Jawa dan menugaskan mereka untuk membangun jalan yang akan melewati wilayah mereka.
Selanjutnya pembangunan jalan ini dilanjutkan pada tahun 1809. Pembangunan di mulai dari Anyer hingga menyusuri pesisir Pulau Jawa. Pemerintah Hindia Belanda berharap dengan adanya jalur ini, komoditi unggulan seperti kopi dapat didistribusikan ke pelabuhan dalam waktu singkat.
Rupanya proyek Daendles ini hanya dapat dinikmati oleh kelompok tertentu, seperti kereta kuda miliki pemerintah Hindia-Belanda atau kereta kuda milik bangsawan pribumi.
Sampai akhirnya Surat Keputusan No. 4 tertanggal 19 Agustus 1857 menyebutkan rakyat boleh melewati jalan ini. Lebih dari 200 tahun setelah pembangunan awal, Jalan Raya Pos pun bertransformasi menjadi jalan yang dikenal luas dengan nama jalur atau Jalan Raya Pantura.
Pada dekade 1930-an, migrasi penduduk di Pulau Jawa tidak terelakan. Kondisi inilah yang membuat selama kurun waktu 50 tahun, perkembangan Pantura semakin pesat sampai akhirnya terlihat pada tahun 1980. Hiruk pikuk jalur Pantura kemudian diisi dengan bising mesin kendaraan bermotor dan asap pekat dari knalpot truk dan bus lintas Jawa.
Tidak ada yang mengetahui secara pasti, kapan kemunculan istilah ‘Pantura’ untuk menamai jalan nasional ini. Tetapi menurut Endah, istilah ini baru muncul dalam wacana media massa pada akhir tahun 1980. Jalan Pantura berhasil berubah, baik secara fisik dan fungsi.
Satu hal yang tetap sama dari Jalan Pantura dan Jalan Raya Pos adalah keduanya tetap menjadi primadona, baik pada masa penjajah zaman dahulu hingga penduduk Pulau Jawa saat ini. Pantura kini jadi salah satu ikon masyarakat tiap momen mudik atau pulang kampung terjadi.