Merentang Sejarah Uang di Nusantara

Image title
11 Juli 2022, 18:14
uang, mata uang, rupiah
ANTARA FOTO/Siswowidodo/aww.
Ilustrasi, kolektor uang kuno Roedy Santoso memperlihatkan uang kuno yang dikoleksinya di Desa Purwosari, Kabupaten Madiun, Jawa Timur. Ia telah mengoleksi 149 jenis uang kertas dan 84 jenis uang logam dengan jumlah lebih dari tiga ribu lembar dan keping uang.

Jauh sebelum mengenal uang, manusia melakukan barter atau pertukaran barang, atau jasa untuk kebutuhan berupa barang atau jasa yang diinginkan.

Praktik barter telah dimulai sejak puluhan ribu tahun lalu. Namun, praktik ini memiliki kendala, karena sulit meraih kesepakatan mengenai nilai pertukarannya. Oleh karena itu, timbul kebutuhan akan adanya suatu alat penukar.

Selama berabad-abad, berbagai benda dipakai sebagai alat pertukaran atau alat pembayaran. Misalnya, kulit kerang, batu permata, gading, telur, garam, beras, binatang ternak, atau benda-benda lainnya. Dalam perkembangan selanjutnya, masyarakat menggunakan benda seperti logam dan kertas sebagai uang.

Pada awalnya, uang berfungsi sebagai alat penukar atau pembayaran. Seiring perkembangan peradaban, uang juga berfungsi sebagai alat penyimpan nilai, satuan hitung, dan ukuran pembayaran yang tertunda.

Tampilan uang pun terus mengalami perubahan. Dari awalnya berbentuk barter, kemudian ke kulit kerang, koin, kertas, plastik, dan kini dalam bentuk elektronik.

Bukti Tertua Kehadiran Uang di Nusantara

Di Indonesia sendiri, atau lebih dikenal dengan sebutan Nusantara, uang sudah hadir sejak lama. Ini dibuktikan dari dua koleksi uang perak dari zaman Hindu-Budha, yang dimiliki oleh Museum Nasional.

Bentuknya cembung, dengan sisi depan bergambar pot bunga, dua tangkai bunga, dan garis-garis lekuk sekitarnya seperti ruang asap. Sementara, pada sisi belakang terdapat gambar bunga lotus mekar terletak di dalam garis berbentuk persegi empat.

Mengutip "Katalog Pameran Peringatan Ulang Tahun Ke-200 Museum Pusat", diperkirakan mata uang ini digunakan sebagai alat tukar sekitar tahun 569 Saka atau tahun 647 Masehi.

Selain uang perak, ditemukan juga mata uang emas. Paling awal berbentuk batangan, jumlahnya sedikit, dan ukurannya tidak menentu, baik bentuk maupun berat. Ini mengindikasikan, uang emas tersebut tidak  digunakan secara umum sebagai alat tukar.

Sebagian besar mata uang emas yang ditemukan di Jawa Tengah tersebut, berasal dari abad ke-9 dan ke-10. Mata uang ini termasuk dalam klasifikasi uang tipe piloncito, yakni ukurannya kecil, gepeng seperti dadu dengan sudut-sudut membulat.

Kehadiran Uang Kepeng

Mengutip Media Keuangan Edisi Oktober 2020, sejarawan Anthony Reid dalam "Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid 2" mengungkapkan, prasasti di Jawa tak lagi menyebut mata uang perak dan emas setelah tahun 1300.

Melainkan, muncul sebutan picis, yang merupakan mata uang berbahan dasar tembaga dari Tiongkok. Uang ini berbentuk kecil bulat, dan mempunyai lubang persegi di tengah agar dapat diikat sebanyak seribu.

Menurut sejarawan Denys Lombard dalam "Nusa Jawa Silang Budaya", kelebihan uang kepeng itu tidak langsung tampak. Mula-mula, banyak orang menggunakannya untuk ditukar dengan komoditas seperti rempah-rempah. Ini memungkinkan, karena bahan dasar tembaga yang digunakan pada uang tersebut, juga merupakan komoditas yang dicari.

Lomard mencatat, uang kepeng asal Tiongkok ini mulai tersebar bersamaan dengan majunya perniagaan Dinasti Sung, dan secara khusus membanjiri Jawa yang memiliki peran perantara dalam jaringan perdagangan di Nusantara.

Tingginya permintaan uang kepeng ini, memicu penyelundupan dari Tiongkok, serta memunculkan upaya menirunya dengan menggunakan logam campuran (perak, timah, timbal, dan tembaga). Di Pulau Jawa, uang tiruan ini disebut gobog, yang berbentuk lubang persegi di tengah-tengah dan garis tengah yang lebih besar.

Reid menyebutkan, tujuan pembuatan uang kepeng tiruan di Jawa, dan di beberapa tempat lain adalah, untuk menjaga persediaan karena hubungan langsung dengan Tiongkok menurun sekitar tahun 1500-an.

Meski demikian, uang tembaga dari Tiongkok ini, serta mata uang timah tiruannya telah menjadi dasar penggunaan mata uang di Asia Tenggara pada tahun 1500-an.

Uang Kerajaan dan Eropa

Selain menggunakan mata uang dari Tiongkok, kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara juga mengeluarkan mata uang sendiri. Misalnya, Kesultanan Samudera Pasai, memunculkan mata uang dirham dan mass, yang berbahan dasar emas.

Kemudian, Kesultanan Aceh juga mengeluarkan keuh atau kasha, yang berbahan dasar timah. Kasha juga digunakan oleh Kesultanan Banten. Selain itu, ada pula Kesultanan Cirebon, yang mengelurkan uang berbahan dasar timah, yakni picis.

Kedatangan bangsa Eropa membawa mata uang baru. Pada abad ke-16, Portugis mengedarkan mata uang yang terbuat dari perak, yaitu piastre Spanyol. Uang ini juga biasa disebut mat, pasmat, real, atau dollar.

Lalu, pada masa kekuasaan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), beredar bermacam-macam mata uang, seperti rijksdaalder, dukat, stuiver, gulden, dan doit. Kemungkinan besar, kata duit yang digunakan untuk menyebut uang dewasa ini, berasal dari mata uang yang beredar pada era kekuasaan VOC.

Beberapa uang yang dikeluarkan saat era kekuasaan VOC, menggunakan bahan emas, perak, tembaga, nikel dan timah. Bentuknya bundar pipih, dengan ukuran diameter yang tidak sama. Beberapa mata uang ini dibuat di Belanda.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...