Kepada Rocky Gerung, Luhut Pamer Data Intelijen Soal Potensi Kerusuhan

ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/nz.
Presiden Joko Widodo (kedua kiri) didampingi Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan (kiri) tiba untuk menyampaikan pengarahan dan evaluasi Aksi Afirmasi Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia di Jakarta Convention Center, Jakarta, Selasa (24/5/2022).
Penulis: Ade Rosman
Editor: Yuliawati
21/9/2022, 18.57 WIB

Akademisi Rocky Gerung yang terkenal sebagai pengkritik pemerintah, baru-baru ini berbincang satu meja dengan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan.

Dalam diskusi itu, Rocky melontarkan isu mengenai potensi berulangnya kerusuhan sosial seperti 1998. Dia meminta gambaran Luhut perihal siapa saja tokoh-tokoh yang diprediksinya bisa menjadi penyelamat bila terjadi social unrest.

Luhut menjelaskan situasi Indonesia saat ini jauh dari kekacauan atau chaos seperti yang pernah terjadi pada 1998.
Dia meyakini kondisi itu dengan kelengkapan data dan sistem intelijen.

“Saya dilengkapi oleh sistem sehingga saya bisa melihat berbagai kemungkinan-kemungkinan, saya kira itu (kekacauan) masih sangat jauh, tapi yang saya sampaikan bahwa kita semua harus berhati-hati menghadapi dunia sekarang,” kata Luhut di kanal YouTube RGTV Channel ID, dikutip pada Rabu (21/9).

Luhut mengungkapkan dirinya telah menerima informasi-informasi krisis-krisis yang sedang terjadi di belahan dunia lain. Seperti kekeringan di Cina yang berimbas pada penjatahan listrik, kekeringan di Eropa, serta antrean makanan di Amerika.

“Nah, kita sampai hari ini itu tidak terjadi gejala-gejala itu,” katanya.

Dalam diskusi itu, Luhut mengeluhkan kritikan yang ditujukan kepada pemerintah. Dia menyatakan perbedaan pendapat merupakan hal yang wajar dan bagian dari demokrasi, tapi perlu disesuaikan dengan sopan santun ketimuran.

“Jadi, misalnya kalau mau kritik Presiden kita, ya kritik aja, tapi tentu dengan kesantunan-kesantunan timur kita itu yang perlu kita pelihara,” katanya.

Dia menyebutkan terkadang pengkritik ekonomi berlebihan, karena tidak melihat data dengan jelas. "Jadi tidak berbasis data, tapi berbasis kecemburuan dan kebencian," kata dia.

Nilai tukar rupiah sempat terpuruk ke level terendahnya sepanjang sejarah Indonesia, sebulan setelah lengsernya Presiden Soeharto 15 Mei 1998. Berdasarkan data Bloomberg, nilai tukar rupiah terdepresiasi hingga ke Rp 16.650/dolar Amerika Serikat (AS) pada 17 Juni, yang berarti mengalami pelemahan lebih dari 200% dari posisi akhir 2017 di level Rp 5.403/dolar AS. Padahal nilai tukar rupiah masih di sekitar Rp 2.000/dolar AS pada 1996. Berikut grafik Databoks: 

Reporter: Ade Rosman