KPK Minta Agus Supriatna Tak Perang Opini di Kasus Helikopter AW 101
Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri menyayangkan pernyataan yang dilontarkan kuasa hukum Agus Supriatna, Pahrozi yang menyebut dakwaan Jaksa yang menyeret nama kliennya turut kecipratan Rp17,7 miliar dalam dugaan korupsi pengadaan helikopter angkut AW 1011 tak berdasar. Menurut Ali, tim penyidik KPK telah melakukan telaahan sebelum membuat dakwaan di pengadilan.
“Surat dakwaan Tim Jaksa KPK disusun berdasarkan hasil penyidikan yang sah dan akan dibuktikan di persidangan secara terbuka,” jelas Ali dalam pernyataanya, Kamis (13/10).
Menurut Ali, sebelum membuat dakwaan KPK telah berulang kali memanggil Agus untuk dimintai keterangan. Namun mantan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) itu tak kunjung memenuhi panggilan. Agus dianggap tidak kooperatif selama masa penyidikan.
Ia mengatakan bila ingin melakukan pembelaan, Agus seharusnya tak beropini di luar persidangan. Karena selalu mangkir dalam penyidikan, kini Agus bisa memberikan kesaksian di pengadilan tipikor. Agus juga bisa menyampaikan pembelaan dan bantahan bila merasa dakwaan jaksa tidak tepat.
“Membangun narasi dan tuduhan serampangan di ruang publik terhadap kerja tim Jaksa sama sekali tidak bermakna sebagai pembuktian,” ujar Ali.
Menurut Ali, tuduhan tanpa dasar oleh kuasa hukum Agus terhadap hasil penyidikan KPK justru menunjukkan kepanikan.
Sebelumnya, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada PN Jakarta Pusat menggelar sidang perdana terdakwa Direktur PT Diratama Jaya Mandiri Irfan Kurnia, Saleh Robinson Paul Tarru, terkait dugaan kasus korupsi pengadaan helikopter angkut Agusta Westland (AW)-101 di TNI Angkatan Udara (AU) pada 2015-2017. Pada sidang tersebut, Irfan didakwa telah memperkaya diri sendiri sebesar Rp 183,2 miliar, serta orang lain yakni Agus Supriatna Rp 17,73 miliar.
Adapun, pihak perusahaan yang diperkaya yaitu Agusta Westland sebesar US$ 29,5 juta, setara Rp 391,6 miliar Lejardo Pte Ltd sebesar US$ 10,95 juta, atau sekitar Rp 146,34 miliar.
Lebih lanjut, Irfan didakwakan dengan pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.