BPOM Duga Ada Unsur Kesengajaan di Balik Obat Sirop Berbahaya

ANTARA FOTO/HO/Humas BPOM/wpa/hp.
Kepala Badan POM Penny K. Lukito memberikan keterangan penerbitan persetujuan penggunaan dalam kondisi darurat atau Emergency Use Authorization (EUA) untuk Vaksin COVID-19 di Kantor Badan POM, Jakarta, Senin (11/1/2021).
27/10/2022, 15.21 WIB

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menduga salah satu penyebab tingginya kandungan Etilen Glikol (EG) maupun Dietilen Glikol (DEG) dalam obat sirop adalah perubahan komposisi bahan baku obat. Adapun, perubahan bahan baku tersebut tidak dilaporkan kepada badan tersebut.

Kepala BPOM Penny S Lukito mengatakan dugaan tersebut didasarkan oleh kadar Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG) yang sangat tinggi dalam sebagian obat sirop. Menurutnya, ada kemungkinan EG dan DEG digunakan langsung sebagai pelarut, bukan Propilen Glikol (PG) atau Polietilen Glikol (PEG).

"Karena di kandungan EG dan DEG di bahan bakunya jauh lebih tinggi, bisa jadi itu sudah dijadikan pelarut. Itu yang menjadikan kecurigaan kita ada unsur kesengajaan, tapi itu masih ditelusuri lebih jauh lagi," kata Penny dalam konferensi pers virtual, Kamis (27/10).

Selain itu, Penny menduga salah satu penyebab tingginya kadar EG dan DEG dalam obat sirop adalah penggunaan pelarut yang tidak sesuai standar farmasi. Menurutnya, sebagian solvent yang digunakan memiliki standar kimia dan umumnya digunakan pada produk yang tidak masuk ke dalam tubuh manusia, seperti cat.

Penny menyampaikan dugaan tersebut muncul setelah temuan perubahan alur distribusi pelarut yang bukan berasal dari pedagang besar farmasi, tapi importir kimia. Penny mengatakan perubahan bahan baku dalam produksi obat harus dilaporkan ke BPOM, namun sebagian produsen tidak melakukan hal tersebut.

Penny mengatakan perubahan pemasok pelarut tersebut terjadi saat pandemi Covid-19 terjadi. Penny menyampaikan dugaan tersebut sedang didalami oleh pihak Kepolisian.

Dia juga menjelaskan, harga solvent berstandar kimia jauh lebih murah dibandingkan pelarut yang berstandar farmasi. Tingginya harga berstandar farmasi disebabkan adanya proses pemurnian dari potensi cemaran EG dan DEG.

"Bisa jadi karena tidak ada pengawasan pemasukan solven oleh BPOM, mereka bisa menggunakan secara sengaja atau tercampur di pemasok kimia tersebut," kata Penny.

Penny menjelaskan dua dari empat solven yang dinilai berbahaya oleh BPOM telah diproduksi di dalam negeri, yakni Sorbitol dan Gliserin/Gliserol. Sementara itu, PG dan PEG masih bergantung dari pasar impor

Penny mengatakan BPOM tidak memiliki kewenangan dalam mengawasi masuknya PG dan PEG di dalam negeri. Pasalnya volume PG dan PEG yang masuk di dalam negeri cukup besar lantaran solven tersebut digunakan oleh banyak industri pengolahan.

Dengan demikian, proses pengawasan importasi PG dan PEG sejauh ini dilakukan oleh Kementerian Perdagangan. Maka dari itu, BPOM telah meminta pemerintah untuk mengubah pengawasan PG dan PEG untuk industri farmasi dilakukan oleh BPOM.

Artinya, setiap importasi PG dan PEG berstandar farmasi nantinya harus mendapatkan persetujuan dari BPOM. Hal tersebut juga telah disampaikan kepada Presiden Joko Widodo.

"Sudah ditindaklanjuti. Menteri Keuangan dan Menteri Perdagangan sudah mendengar, ke depan akan dimasukkan proses importasi PG dan PEG ke BPOM," kata Penny.

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, India menjadi pemasok PG dan PEG dengan volume cukup besar ke Indonesia pada 2021. Tahun lalu, India memasok 55.586 ton PG dan PEG ke dalam negeri atau 2,1% dari total volume impor.

Adapun, Amerika Serikat tercatat menjadi pemasok utama PG dan PEG di dalam negeri dengan kontribusi setidaknya 60% dari total impor. Pada tahun ini, total impor PG dan PEG dari Negeri Paman Sam diproyeksikan mencapai 2,01 juta ton atau 77,3% dari total impor.

Reporter: Andi M. Arief