Cerpen adalah salah satu karya sastra populer di Indonesia. Cerpen biasanya memiliki cerita yang singkat dan sederhana, serta menarik untuk dibaca.
Dalam cerpen, penulis berusaha untuk menyampaikan pesan atau menggambarkan karakter dengan cara yang padat dan efektif.
Meskipun cerpen singkat, ia mampu membangkitkan imajinasi pembaca dan menyampaikan pengalaman yang kuat. Ada berbagai tema yang bisa diambil dalam cerpen.
Namun, sebelum kita membahas contoh-contoh cerpen. Ada baiknya, kita mengetahui terlebih dahulu ciri-ciri dari cerpen.
Ciri-Ciri Cerpen
Mengutip dari buku Bahasa Indonesia untuk SMP oleh Asep Juanda (2017) berikut ciri-ciri cerpen secara umum:
- Ceritanya fiktif atau rekaan.
- Fokus pada satu aspek cerita.
- Mengungkapkan masalah yang penting saja.
- Menyajikan peristiwa dengan cermat dan jelas.
- Ceritanya pendek atau singkat.
- Menggunakan bahasa yang tajam, sugestif, dan provokatif atau menarik perhatian.
- Tokoh yang ditampilkan terbatas sekitar 1-3 orang saja.
Contoh Cerpen Pendidikan
1. Utopia Putih Merah
Karya Lee Ann Naa
Dari balik tirai jendela yang lusuh, sepasang mata kecil menatap awas. Pandangannya tidak terlepas dari lapangan bola, tepat 10 meter di depan rumahnya. Sudah setengah jam gadis it mengawasi. Bukan gerak-gerik bola. Bukan pula para pemain bola berseragam putih merah, karena di sana hanya ada bayangan kosong dan keheningan.
Sepasang mata kecil itu mengerjap. Isi kepala si gadis kecil penuh pertanyaan tak terungkap. Hari-harinya telah berubah. la tak lagi ikut ibunya ke sekolah untuk berjualan di kantin. la tidak lagi dibonceng Ayah keliling perumahan di sore hari. la tak lagi melihat anak-anak berseragam putih merah berteriak sambil berebutan bola sepak di depan rumahnya.
Hari itu, seharusnya menjadi hari pertama ia masuk sekolah dasar. Hari itu, seharusya untuk pertama kalinya ia mengenakan seragam putih merah yang selalu didamkannya.
Tapi, hari itu semua berbeda dari bayangannya.
Sejak pagi, ibunya menangis di kamar. Masih berdaster
Hello Kitty, gadis itu hanya berdiri di balik tirai jendela rumah, memeluk guling kempes kesayangannya.
Perut lapar, tapi pagi itu a tidak menemukan susu dan roti di meja makan, seperti yang biasa ibunya siapkan. Mendadak, rumahnya penuh orang-orang. la mengenal dua atau tiga orang dari mereka, meskipun ada sepotong kain hijau menutup hidung dan mulut mereka.
2. Aku Tak Pernah Punya Cita-Cita
Karya Asep Sukirman
"Kenapa diam saja? Gak mau pulang, ya?"
Setengah jam berlalu saat teman-teman satu kelasku sudah pulang setelah menjawab pertanyaan yang sakral dan suci. Tersisa aku, guruku, dan seluruh perabotan kelas. Padahal hati dan pikiranku melayang-layang mencari jawaban yang pas dan sakti agar Ibu Ema, perempuan anggun berkerudung panjang idaman setiap Bapak-bapak guru itu, banga atas jawaban yang aku berikan.
BRAAK..!!!
Membuatku terlonjak tingkat pusat. Menganga dan terpaku. Sosok Bu Ema berdiri tegap di depanku. Kecut dan penuh ambisi terpancar dari wajahnya. Ya, dia menggebrak meja sedemikian keras sebab aku melamun jauh sekali. Teramat jauh, hampir tersesat.
"Kalau gak mau jawab, pulang saja! Masih kecil kok melamun!"
Nada marahnya membuat ciut nyali pria manapun yang ingin melamarnya. Tergesa-gesa pula kurapikan tas dan segera lari keluar kelas tanpa sepatah kata pun. Namun, di ambang pintu kakiku berhenti dengan sendirinya seraya menoleh Bu Ema yang berdiri membelakangi.
3. Bertaruh dengan Masa Depan
Karya Noor Cholis Hakim
"Masih ada Tuhan di atas sana. Ingat, kamu tidak sendiri. Namun, kamu harus beradaptasi, sebab dunia tak selamanya teduh."
Ucapan itu masih terngiang-ngiang di kepalaku. Masuk ke pelosok telinga. Lantas, diputar berulang-ulang di dalam sana. Suara serak-serak basah yang biasanya renyah untuk didengar. Kini membuatku sedikit bergidik ngeri. Menyergap dalam rasa panik.
Namun, cepat atau lambat, sementara atau selamanya. Aku bisa mencerna dengan baik kalimat itu. Terima kasih, Kakek.
"Baiklah, pertemuan hari ini sampai di sini saja. Jaga kesehatan kalian selalu! Wassalamualaikum, lebih cepat dari biasanya".
Video konferensi hari ini selesai. Sepekan lalu, bukan sepekan lalu, lebih tepatnya hampir setahun yang lalu. Pandemi menyergap seluruh penjuru dunia.
Pendidikan harus terhambat. Mengharuskan pembelajaran dilaksanakan secara online. Meski semuanya terasa lambat, tapi inilah kehidupan saat ini. Hendak mengingkarinya sudah tak kuasa. Munafik.