Guru besar filsafat moral, Romo Frans Magnis Suseno, yang dihadirkan sebagai saksi ahli dalam sidang Bharada Richard Eliezer mengungkap dua hal yang bisa meringankan eksekutor pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat itu. Romo Magnis hadir sebagai saksi a de charge atau saksi meringankan dalam sidang Bharada E di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (26/12).
Menurut Frans, hal yang meringankan adalah kedudukan Richard dalam struktur kepolisian yang berada di bawah Ferdy Sambo. Jabatan Kepala Divisi Propam Mabes Polri yang diemban Sambo saat itu menurut Frans membuat Bharada E sulit berkelit.
"Menurut saya yang tentu paling meringankan adalah kedudukan yang memberikan perintah itu kedudukan tinggi," kata Frans, di ruang sidang utama Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Senin (26/12).
Frans mengatakan, usia Richard yang masih tergolong muda, yaitu 24 tahun, harus berhadapan dengan "budaya laksanakan" di institusi kepolisian. Selanjutnya, poin meringankan yang kedua, kata Frans, yaitu unsur keterbatasan waktu untuk berpikir saat perintah itu diberikan.
"Keterbatasan situasi itu yang tegang yang amat sangat membingungkan saya kira semua itu di mana dia saat itu harus menentukan laksanakan atau tidak," kata Frans.
Ia mengatakan, tidak adanya waktu untuk Richard memikirkan terlebih dahulu keputusan yang akan diambilnya bisa menjadi faktor etis meringankan. Ia menyebut dalam keadaan normal biasanya orang butuh jeda untuk bisa mengambil keputusan sulit.
"Tidak ada waktu untuk melakukan pertimbangan matang, di mana kita umumnya kalau ada keputusan penting coba ambil waktu tidur dulu, dia harus langsung bereaksi, menurut saya itu tentu dua faktor yang secata etis sangat meringankan," kata Frans.
Pada sidang kemarin selain Frans, pihak Richard juga menghadirkan dua ahli lainnya sebagai saksi meringankan, yaitu psikolog Liza Marielly Djaprie, dan psikolog forensik, Reza Indragiri Amriel. Adapun, pada perkara tersebut, Richard didakwa melakukan pembunuhan terhadap Brigadir J, bersama dengan Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Ricky Rizal, dan Kuat Ma'ruf.
Peran Richard dalam peristiwa tersebut sebagai eksekutor penembakan atas perintah Sambo yang kala itu masih menjabat sebagai Kadiv Propam Polri. Berdasarkan hal tersebut, Richard bersama dengan Sambo, Putri, Ricky, dan Kuat didakwa melanggar Pasal 340 KUHP subsider Pasal 338 KUHP jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 56 ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), dengan ancaman pidana maksimal hukuman mati, penjara seumur hidup atau selama-lamanya 20 tahun.