Ikatan Dokter Anak Indonesia atau IDAI mengingatkan bahaya wabah campak yang disebut lebih mematikan daripada Covid-19. Peringatan itu disampaikan seiring dengan pengumuman Kementerian Kesehatan yang menetapkan 53 Kejadian Luar Biasa penyakit campak di 34 kabupaten/kota yang tersebar di 12 provinsi di Indonesia.
Ketua Unit Kerja Koordinasi Penyakit Infeksi Tropik IDAI Anggraini Alam mengatakan pasien yang terkena campak memiliki beberapa komplikasi, seperti gangguan pendengaran, diare, pneumonia, pembengkakan otak, atau kebutaan. Potensi seorang pasien terkena pneumonia mencapai 6%.
Meski potensi dampak ikuta pneumonia kecil, Anggraini menyebut bahayanya cukup besar. Dia menyebut pasien campak yang memiliki komplikasi pneumonia memiliki persentase kematian sekitar 56% - 86%. Angka ini menunjukkan tingkat kematian akibat komplikasi pneumonia yang ditimbulkan campak mencapai 5,16%.
"Covid-19 itu saat ini sudah menjangkit lebih dari 650 juta penduduk global dengan angka kematian di bawah 1%. Campak ini angka kematiannya jauh lebih tinggi," kata Anggraini dalam konferensi pers virtual, Kamis (19/1).
Selain tingkat kematian, Anggraini mencatat tingkat penularan campak jauh lebih tinggi dari Covid-19. Seperti diketahui, tingkat penularan maksimum Covid-19 terbesar adalah pada varian Omicron atau lebih dari 7,5% dengan estimasi orang yang terinfeksi mencapai 10%.
Sementara itu, tingkat penularan maksimum campak mendekati 12,5% dengan estimasi orang yang terinfeksi lebih dari 17,5%. Menurut Anggraini, secara sederhana, seseorang yang terjangkit campak dapat menularkan penyakitnya ke 12-18 orang dalam satu waktu.
Lebih jauh ia mencontohkan tidak adanya dampak kepada masyarakat pedesaan saat pandemi Covid-19 menyerang. Namun masyarakat pedesaan pun terdampak saat wabah campak menyerang pada September 2017 - Januari 2018.
Anggraini mencatat sebanyak 646 anak terkena campak dan 144 anak memiliki gizi buruk. Alhasil, sebanyak 70 anak meninggal karena campuran keduanya.
"Seperti masyarakat Suku Baduy atau Papua waktu Covid-19 menyerang nggak mati, tapi begitu kena campak mereka mati. Campak dengan orang-orang enggak berkerumun, virusnya sudah ke mana-mana," katanya.
Menurut Anggraini, tingginya penularan campak disebabkan oleh metode transmisinya yang menggunakan udara. Selain itu, seseorang diketahui terkena campak saat ruam merah tampak jelas atau empat hari setelah tertular. Oleh karena itu, Anggraini memaparkan tingkat imunitas kelompok yang harus dicapai untuk menangkal campak adalah 91-94%.
Anjloknya Tingkat Imunisasi
Lebih jauh ia menilai, penetapan 53 KLB pada awal tahun 2023 oleh Kemenkes disebabkan oleh melonjaknya kasus campak hingga 32 kali secara tahunan pada 2022 menjadi 3.341 kasus yang telah disaring dari 13.290 suspek. Adapun status KLB diberikan karena dua hal, yakni lonjakan kasus penyakit atau munculnya penyakit yang belum pernah terjadi di satu wilayah.
Anggraini berpendapat sebab dari lonjakan kasus campak bukan hanya karena pandemi Covid-19. Pasalnya, pandemi Covid-19 membuat tingkat imunisasi di seluruh dunia, termasuk Indonesia, anjlok.
Ia menemukan tingkat imunisasi campak sudah mulai memasuki tren penurunan pada 2014-2015. Menurutnya, tingkat imunisasi terendah ada di DI Aceh sejak 2015. Namun tren penolakan vaksin karena alasan kehalalan tidak dinilai tidak menjadi pemicunya.
"Tidak melulu karena kehalalan vaksin. Kebanyakan karena enggak tahu bahwa penyakit campak itu ada dan memandang tidak perlu divaksin campak," kata Anggraini.