Mengenal Aturan Justice Collaborator di Balik Polemik Tuntutan Eliezer
Nama Bharada Richard Eliezer atau Bharada E ramai diperbincangkan usai dituntut 12 tahun penjara dalam perkara pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat. Dalam sidang yang berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Rabu (18/1), jaksa menyebut Eliezer terbukti secara sah melakukan tindakan secara bersama-sama yang menyebabkan hilangnya nyawa Brigadir J.
Tuntutan yang dibacakan jaksa menuai pro dan kontra. Alasannya, tuntutan 12 tahun penjara untuk Richard Eliezer lebih tinggi dibanding tiga terdakwa lain yaitu Putri Candrawathi, Ricky Rizal dan Kuat Ma’ruf. Dalam sidang terdahulu ketiga terdakwa masing-masing dituntut hukuman penjara 8 tahun.
Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi Korban Edwin Partogi menyarankan jaksa dalam persidangan kasus pembunuhan Brigadir J merevisi tuntutan yang diberikan karena Eliezer telah mendapat rekomendasi sebagai saksi pelaku atau dikenal Justice Collaborator. Menurut Edwin, Bharada E seharusnya mendapat hukuman lebih rendah dari tiga terdakwa lain.
"[hukuman] Yang sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 pasal 10A ayat (3) dan 4, yaitu paling rendah di antara terdakwa lainnya,” kata Edwin seperti dikutip dari Antara, Kamis (19/1).
Edwin mengungkapkan kekhawatirannya apabila Richard Eliezer dituntut lebih berat dari tiga pelaku lainnya. Ia berpandangan bahwa penuntutan tersebut dapat mengakibatkan keraguan dalam pikiran para pelaku kejahatan yang hendak bekerja sama dalam mengungkap kasus untuk menjadi justice collaborator.
“Nanti orang (pelaku kejahatan) jadi berpikir dua kali, sejauh mana menjadi justice collaborator berdampak pada pemidanaannya,” ucap Edwin.
Menurut Edwin, sesuai amanat undang-undang, Justice collaborator, seharusnya mendapatkan penghargaan atas kesaksiannya. Salah satu bentuk penghargaan tersebut adalah hukuman pidana yang lebih rendah dibandingkan pelaku lainnya.
"Mungkin di jaksa melihat kualitas perbuatannya yang disamakan dengan pelaku utama, bukan dari kontribusinya (sebagai justice collaborator)," tutur Edwin.
LPSK sebelumnya telah menetapkan Richard Eliezer sebagai justice collaborator sejak 14 Agustus 2022. Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo saat itu menyebut Eliezer memenuhi kriteria sebagai JC dalam perkara pembunuhan Brigadir J. Dia menyebut, meski terlibat langsung dalam pembunuhan, Richard Eliezer bukanlah pelaku utama.
LPSK menilai Bharada E merupakan pelaku tindak pidana dengan peran yang minor. Bharada E ikut menembak mati Yoshua karena tidak bisa menolak perintah atasannya, Ferdy Sambo.
Lalu bagaimana sebenarnya posisi justice collaborator yang disandang Richard Eliezer dalam perkara pembunuhan Brigadir J?
Kedudukan Justice Collaborator Menurut Undang-undang
Keberadaan justice collaborator dalam penegakan hukum di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Merujuk Pasal 1 ayat 2 disebutkan bahwa saksi pelaku atau justice collaborator adalah tersangka, terdakwa, atau terpidana yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana dalam kasus yang sama. Selanjutnya pada pasal 5 disebutkan bahwa saksi pelaku atau justice collaborator mendapatkan sejumlah hak selama proses hukum seperti mendapat perlindungan dan hak memberikan keterangan tanpa tekanan.
Selanjutnya pasal 10 ayat 3 menyebutkan bahwa justice collaborator bisa mendapat penghargaan atas kesaksian. Dalam perkara pembunuhan berencana Brigadir J, Richard Eliezer menurut LPSK bisa mendapat pidana keringanan hukuman seperti diatur dalam Pasal 10 ayat 3A.
Sedangkan pada ayat 4 disebutkan bahwa keringanan hukuman dapat diperoleh setelah LPSK memberikan rekomendasi secara tertulis kepada penuntut umum untuk dimuat dalam tuntutannya kepada hakim. Rekomendasi dari LPSK ini telah diberikan kuasa hukum Richard Eliezer pada sidang yang berlangsung 5 Desember 2022.
Berikut pasal penting tentang justice collaborator
Terminologi atau kata justice collaborator memang tak tertulis benderang dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Namun, pada bagian penjelasan disebutkan bahwa istilah justice collaborator disebut sebagai saksi pelaku dalam setiap pasal.
Berikut pasal-pasal yang menjelaskan posisi dan kedudukan saksi pelaku atau justice collaborator dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban.
Pasal 5
(1) Saksi dan Korban berhak:
- memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, Keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;
- ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;
- memberikan keterangan tanpa tekanan;
- mendapat penerjemah;
- bebas dari pertanyaan yang menjerat;
- mendapat informasi mengenai perkembangan kasus;
- mendapat informasi mengenai putusan pengadilan;
- mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan;
- dirahasiakan identitasnya;
- mendapat identitas baru;
- mendapat tempat kediaman sementara;
- mendapat tempat kediaman baru;
- memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;
- mendapat nasihat hukum;
- memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu Perlindungan berakhir; dan/atau
- mendapat pendampingan.
(2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Saksi dan/atau Korban tindak pidana dalam kasus tertentu sesuai dengan Keputusan LPSK.
(3) Selain kepada Saksi dan/atau Korban, hak yang diberikan dalam kasus tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat diberikan kepada Saksi Pelaku, Pelapor, dan ahli, termasuk pula orang yang dapat memberikan keterangan yang berhubungan dengan suatu perkara pidana meskipun tidak ia dengar sendiri, tidak ia lihat sendiri, dan tidak ia alami sendiri, sepanjang keterangan orang itu berhubungan dengan tindak pidana.
Pasal 10
(1) Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan/atau Pelapor tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan itikad baik.
(2) Dalam hal terdapat tuntutan hukum terhadap Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan/atau Pelapor atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikan, tuntutan hukum tersebut wajib ditunda hingga kasus yang ia laporkan atau ia berikan kesaksian telah diputus oleh pengadilan dan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pasal 10A
(1) Saksi Pelaku dapat diberikan penanganan secara khusus dalam proses pemeriksaan dan penghargaan atas kesaksian yang diberikan.
(2) Penanganan secara khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
- pemisahan tempat penahanan atau tempat menjalani pidana antara Saksi Pelaku dengan tersangka, terdakwa, dan/atau narapidana yang diungkap tindak pidananya;
- pemisahan pemberkasan antara berkas Saksi Pelaku dengan berkas tersangka dan terdakwa dalam proses penyidikan, dan penuntutan atas tindak pidana yang diungkapkannya; dan/atau
- memberikan kesaksian di depan persidangan tanpa berhadapan langsung dengan terdakwa yang diungkap tindak pidananya.
(3) Penghargaan atas kesaksian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
- keringanan penjatuhan pidana; atau
- pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bagi Saksi Pelaku yang berstatus narapidana.
(4) Untuk memperoleh penghargaan berupa keringanan penjatuhan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, LPSK memberikan rekomendasi secara tertulis kepada penuntut umum untuk dimuat dalam tuntutannya kepada hakim.
Pasal 32A
(1) Hak yang diberikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dihentikan jika diketahui bahwa kesaksian, laporan, atau informasi lain diberikan tidak dengan iktikad baik.
(2) Dalam hal tindak pidana yang dilaporkan atau diungkap oleh Saksi Pelaku dalam pemeriksaan di sidang pengadilan tidak terbukti, tidak menyebabkan batalnya Perlindungan bagi Saksi Pelaku tersebut.