Ikatan Dokter Anak Indonesia atau IDAI mengatakan kejadian luar biasa atau KLB penyakit campak kini telah ditetapkan di 31 provinsi. Langkah terbaik yang dapat dilakukan untuk melindungi anak adalah meningkatkan konsumsi protein hewani.
Ketua Umum IDAI Piprim Basarah gizi yang buruk pada anak dapat meningkatkan potensi terjadinya komplikasi pada anak saat terkena campak. Komplikasi yang dimaksud adalah gangguan pendengaran, diare, pneumonia, pembengkakan otak, atau kebutaan.
"Ketika asupan protein hewani anak enggak cukup, tenti pembentukan sel-sel imunitas tidak kuat. Campak tidak bisa disepelekan karena bisa jadi sebab radang pneumonia," kata Piprim dalam konferensi pers virtual, Jumat (20/1).
Kementerian Kesehatan telah mendata potensi pasien campak untuk mendapatkan komplikasi berupa pneumonia mencapai 6%. Sementara itu, potensi meninggalnya pasien campak dengan komplikasi pneumonia mencapai 56% - 86%.
Artinya, tingkat kematian pasien campak dapat mencapai 5,16%. Angka tersebut lebih tinggi dari tingkat kematian Covid-19 di dalam negeri yakni sebesar 2,39%.
Piprim mengatakan pemberian protein hewani menjadi penting lantaran cakupan imunisasi di dalam negeri anjlok saat pandemi Covid-19 menyerang. Piprim menilai asupan gizi yang tidak mumpuni dan minimnya imunisasi menjadi resep sempuran untuk memulai wabah campak.
"Oleh karena itu, imunisasi campak harus di atas 95%, kalau di bawah 60% saja KLB sudah mulai muncul," ujar Piprim.
Sebelumnya, Kerja Koordinasi Penyakit Infeksi Tropik IDAI Anggraini Alam menjelaskan penetapan 53 KLB pada awal tahun ini disebabkan oleh melonjaknya kasus campak hingga 32 kali secara tahunan pada 2022 menjadi 3.341 kasus yang telah disaring dari 13.290 suspek.
Anggraini berpendapat sebab dari lonjakan kasus campak bukan hanya karena pandemi Covid-19. Pasalnya, pandemi membuat tingkat imunisasi di seluruh dunia, termasuk Indonesia, anjlok.
Anggraini menemukan tingkat imunisasi campak sudah mulai memasuki tren penurunan pada 2014-2015. Menurutnya, tingkat imunisasi terendah ada di DI Aceh sejak 2015. Namun tren penolakan vaksin karena alasan kehalalan tidak dinilai tidak menjadi pemicunya.
"Tidak melulu karena kehalalan vaksin. Kebanyakan karena enggak tahu bahwa penyakit campak itu ada dan memandang tidak perlu divaksin campak," kata Anggraini.