BPJS Kesehatan Tanggung Biaya Vaksin Covid Saat Status Pandemi Dicabut

ANTARA FOTO/Andri Saputra/YU/nym.
Petugas kesehatan menyiapkan vaksin COVID-19 dosis ketiga atau booster di salah satu pusat perbelanjaan di Kota Ternate, Maluku Utara, Kamis (22/12/2022).
Penulis: Andi M. Arief
3/2/2023, 20.39 WIB

Perubahan status kedaruratan akibat penyebaran virus Covid-19 dari pandemi menjadi endemi akan berdampak pada pembiayaan vaksin. Juru Bicara Kementerian Kesehatan Mohammad Syahril mengatakan bila pandemi dicabut maka biaya vaksin Covid-19 tidak lagi ditanggung oleh pemerintah. 

"Kalau persyaratan atau kondisi kesehatan masyarakat sudah bagus, status pandemi akan dicabut dan biaya kesehatan terkait Covid-19 akan beralih pada masyarakat," kata Syahril dalam konferensi pers di Kantor Kemenkes, Jumat (3/2).

Syahril mengatakan saat ini harga satu dosis vaksin Covid-19 semua merek berada di kisaran Rp 100.000 - Rp 150.000. Akan tetapi, Syahril mengimbau masyarakat untuk tidak khawatir lantaran tanggungan biaya tersebut dapat dialihkan kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Kesehatan.

Menurut Syahril, peserta BPJS Kesehatan nantinya dapat menikmati manfaat berupa pengobatan dan vaksinasi Covid-19. Untuk masyarakat yang sangat tidak mampu, Syahril mengingatkan pemerintah daerah memiliki skema khusus untuk kelompok tersebut.

Lebih jauh Syahril mengatakan pemerintah memiliki dua pekerjaan rumah besar yang harus diselesaikan, yakni mencabut status pandemi di dalam negeri dan mengusulkan pencabutan status pandemi di Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO. Syahril belum dapat memastikan apakah status pandemi di dalam negeri dapat dicabut tahun ini atau tidak.

"Nanti, tanya Pak Menteri Kesehatan saja," kata Syahril.

Pada kesempatan yang sama, Kepala Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan Kemenkes Syarifah Liza Munira mengatakan beberapa negara sudah mulai mempertimbangkan mencabut status pandemi. Namun sejauh ini belum ada negara yang telah menerapkan status endemi dalam penanganan Covid-19.

Walau status pandemi belum dicabut, Liza mengatakan hasil serosurvei per Januari 2023 akan dibawa pada pertemuan tahunan Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO. Pertemuan yang dimaksud adalah Pertemuan WHO ke-76 di Geneva pada 21-30 Mei 2023.  

Liza mengatakan pembahasan mengenai pandemi Covid-19 akan menjadi perhatian seluruh negara. Dengan demikian, Liza menilai data serosurvei per Januari 2023 akan menjadi pembicaraan dalam forum tersebut.

"Bayangan kami, karena pertemuan tersebut mengenai kesehatan masyarakat, tentu ada sesuatu yang akan terbahas mengenai Covid-19," kata Liza.

Berdasarkan survei Katadata Insight Center per September 2021, mayoritas atau 70% masyarakat tidak setuju jika vaksin virus corona Covid-19 harus berbayar. Hanya 20,2% masyarakat Indonesia yang setuju dengan wacana tersebut. Sisanya sebanyak 9,8% responden menyatakan tidak tahu.

Usia mempengaruhi sikap seseorang terhadap wacana vaksin berbayar. Semakin muda usia responden, maka semakin tinggi pula ketidaksetujuan mereka terhadap vaksin berbayar.

Sebagai contoh, responden berusia 18-24 tahun yang menolak wacana vaksin berbayar mencapai 78,6%. Persentase tersebut jauh lebih tinggi dari responden berusia di atas 75 tahun yang menolak vaksin berbayar sebesar 57,9%.

Begitu pula dengan status ekonomi sosial (SES) seseorang. Semakin rendah SES, maka semakin besar penolakan mereka terhadap vaksin berbayar. Responden pada SES A yang menolak vaksin berbayar tercatat mencapai 61,2%. Responden pada SES B yang menolak vaksin berbayar meningkat jadi 72,5%.

Pada SES C, responden yang menolak vaksin berbayar sebesar 76,4%. Sedangkan, ada 75,6% responden dengan SES D-E yang menolak vaksin berbayar. Adapun, terdapat sejumlah alasan masyarakat tak setuju vaksin berbayar. Mayoritas atau 73,9% responden beralasan vaksin merupakan hak warga negara, khususnya dalam situasi darurat seperti saat ini.

Sebanyak 67,9% responden menilai wacana vaksin berbayar tak adil kepada mereka yang tidak mampu. Lalu, 53,5% responden menilai wacana vaksin berbayar berpotensi menjadi ladang korupsi. Survei ini diadakan dengan melibatkan 8.299 responden yang tersebar di 34 provinsi di Indonesia. Survei dilakukan secara daring pada 6-22 Agustus 2021.

Reporter: Andi M. Arief