Calon presiden dari Koalisi Perubahan Anies Baswedan menyampaikan pidato kebangsaan dalam perayaan ulang tahun Partai Keadilan Sejahtera yang berlangsung di Istora Senayan, Sabtu (20/5). Perayaan ulang tahun PKS ke-21 itu juga dihadiri Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI, Jusuf Kalla juga hadir dan memberikan pidato.
Selain petinggi PKS, petinggi Partai Demokrat dan Partai Nasional Demokrat yang mendukung Anies sebagai capres juga turut hadir. Mereka adalah Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Wakil Ketua Umum Partai Nasdem Ahmad Ali.
Apa saja yang disorot Anies dalam pidato selama 30 menit di hadapan ribuan kader PKS yang memadati Istora Senayan?
Anies Sebut Momen Kebangkitan
Mengawali pidatonya, Anies mengingatkan pentingnya semangat untuk mewujudkan Indonesia bangkit. Hal itu disampaikan Anies karena perayaan milad PKS bertepatan dengan hari kebangkitan nasional yang diperingati setiap 20 Mei.
Menurut Anies, segenap elemen bangsa hari ini perlu menyatukan langkah untuk bergerak lebih cepat mendorong pertumbuhan di segala bidang. Ia menyebut kebangkitan yang sudah dimulai Indonesia tidak akan berarti bila semua pihak tidak bisa memanfaatkan momentum pertumbuhan.
“Bangsa ini harus bisa bangkit lebih kuat sambil kita lihat sejarah ribuan tahun ada negara bangkit dan negara hilang,” ujar Anies.
Negara dan Kekuasaan
Usai membahas arti kebangkitan, Anies melanjutkan pidatonya mengenai konsep bernegara. Ia menyebut sebagai institusi politik, pada praktiknya ada negara yang menerapkan sikap ekstraktif atau memeras. Negara yang digerakkan oleh kelompok ekstraktif menurut Anies akan cenderung mengkonsolidasikan kekuatan pada satu kelompok.
“Negara dengan institusi bersifat memeras menyingkirkan kelompok yang berbeda,” ujar Anies.
Ia menyebut konsep politik yang digerakkan oleh kelompok ekstraktif cenderung mengabaikan partisipasi publik. Meski begitu, ia tidak menyebutkan contoh pemerintahan yang menganut prinsip ekstraktif ini. “Mudah-mudahan tanda-tanda yang seperti itu tidak ada dalam negeri kita,” ujar Anie lagi.
Partisipasi Publik
Berlawanan dengan penyelenggara negara yang bersifat ekstraktif, Anies menyebut institusi politik lainnya adalah yang lebih merangkul banyak kelompok atau dikenal dengan institusi yang inklusif. Ia menyebut pemerintahan yang menerapkan prinsip inklusivitas akan merangkul lebih banyak kelompok dalam pengambilan kebijakan.
Menurut Anies, pemerintahan yang inklusif akan memastikan meritokrasi berjalan di pemerintahan. Selain itu, negara dengan institusi politik yang menjunjung tinggi inklusi ini menjunjung tinggi kesempatan kepada warga untuk menyuarakan aspirasinya tanpa sedikit pun rasa takut.
“Negara yang tidak baperan yang membuka ruang pada kritik. jangan sampai kata-katapun dilarang untuk diartikulasikan,” ujar Anies.
Pemerataan Pembangunan
Dalam konteks ekonomi, Anies kembali menyinggung institusi negara yang bersifat ekstraktif cenderung memberi kekuasaan pada kelompok tertentu. Menurut Anies sikap ini akan membuat pembangunan hanya lebih diarahkan untuk memastikan terpenuhinya kepentingan kelompok tertentu.
Sedangkan dalam konsep negara yang mengedepankan inklusivitas, maka pembangunan akan memberikan kesempatan yang sama kepada semua kelompok. Selain itu ia menyebut pemerintahan yang kuat seharusnya tidak hanya memberi kesempatan kepada kelompok tertentu dalam pelaksanaan pembangunan.
“Semangatnya adalah membesarkan yang kecil tanpa mengecilkan yang besar, jadi bukan hanya bersifat ekstraktif memberikan kesempatan yang besar untuk menjadi besar tetapi memberikan kesempatan yang sama kepada semua orang,” ujar Anies.
Prioritas Pembangunan
Masih menyoal pentingnya pemerataan pembangunan, dalam pidato itu Anies kemudian menyitir data yang diungkap tim Katadata.co.id. Ia menyebut Presiden Jokowi lebih fokus membangun jalan tol yang notabene berbayar. Hal itu berbeda dengan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang lebih banyak membangun jalan nasional ketimbang tol.
“Soal infrastruktur jalan ada tim jurnalis dari media Katadata mengumpulkan datanya, izinkan saya mengutipnya,” ucap Anies.
Awalnya, Anies menyebut era Jokowi berhasil membangun jalan tol terpanjang, yaitu 1.569 kilometer (Km) dari total jalan tol saat ini 2.499 Km. Adapun 63 persen dari seluruh jalan tol berbayar di Indonesia itu dibangun di pemerintahan sekarang. Di sisi lain ia menyebut Jokowi hanya berhasil membangun jalan kurang lebih sepanjang 19.000 Km.
Capaian Jokowi kata Anies berbeda dengan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang membangun 144.000 kilometer jalan non tol atau 7,5 kali lipat dari yang dibangun Jokowi.
“Bila dibandingkan dengan jalan nasional, di pemerintahan ini membangun jalan nasional sepanjang 590 kilometer, di era 10 tahun sebelumnya 11.800 kilometer, 20 kali lipat," ucap Anies.
Meski begitu Anies menyebut perbedaan capaian Presiden SBY dan Jokowi dalam pembangunan infrastruktur baik jalan gratis maupun jalan tol sama-sama dibutuhkan. Tetapi yang lebih perlu diperhatikan adalah keberpihakan dalam menentukan prioritas kebijakan untuk seluruh kelas masyarakat.
"Ketika bicara infrastruktur ekonomi memberikan kesetaraan kesempatan kepada semuanya. Kita perlu memikirkan ke depan institusi yang inklusif, infrastruktur yang membangun keseharian," ujarnya.
Perubahan paradigma
Pada poin terakhir, Anies mengatakan pentingnya perubahan paradigma dalam pembangunan nasional. Ia menyebut bila nanti terpilih sebagai pemimpin Indonesia periode 2024-2029 ia akan menawarkan perubahan yang tidak hanya mengganti kebijakan yang lama.
“Perubahan yang kami lakukan adalah yang lengkap, ada hal yang dikoreksi, ada hal yang ditambahkan, ada hal yang dilanjutkan dan ada hal yang tidak tepat kita hentikan,” ujar Anies.
Menurut Anies kunci utama untuk menjemput kebangkitan Indonesia adalah persatuan dan kesamaan pandangan dalam pembangunan nasional Ia menyebutkan persatuan akan mendorong hilangnya ketimpangan dan hadirnya kesetaraan.