Pemerintah Indonesia mengusulkan kepada Kerajaan Arab Saudi untuk menambah jumlah bandar udara (bandara) di Arab Saudi yang digunakan untuk kedatangan dan pemberangkatan haji. Usulan itu disampaikan untuk memangkas masa tinggal jemaah haji Indonesia di Tanah Suci.
Pemerintah Indonesia yang diwakili Konsul Jenderal Indonesia di Jedddah Eko Hartono menyampaikan usulan tersebut dalam pertemuan Kementerian Haji Arab Saudi dengan negara-negara anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI) di Jeddah, Selasa (13/6). Saat ini, hanya dua bandara yang digunakan untuk pemberangkatan dan kepulangan haji yakni Bandara Internasional King Abdul Azis di Jeddah dan Bandara Internasional Prince Muhammad bin Abdul Azis di Madinah.
"Jadi kita minta ada pilihan selain Jeddah dan Madinah, misalnya Bandara Taif dan Bandara Yanbu," ujar Kepala Kantor Urusan Haji (KUH) Indonesia di Jeddah Nasrullah Jasam saat ditemui tim Media Center Haji di kantornya, Jeddah.
Saat ini, dengan hanya dua bandara yang digunakan untuk operasional haji di Saudi, Indonesia harus berebut slot penerbangan dengan banyak negara lain untuk pemberangkatan dan kepulangan. Ini alasan utama masa tinggal jemaah haji saat ini sekitar 40 hari.
Masa tinggal yang cukup panjang itu turut berdampak pada biaya perjalanan ibadah haji (Bipih) yang dibayarkan jemaah dan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) yang dikeluarkan pemerintah. Dengan penambahan operasional bandara haji di Saudi, maka pemerintah bisa mengatur waktu pemberangkatan dan kepulangan jemaah haji dengan lebih fleksibel. Dengan demikian, pemerintah bisa memangkas masa tinggal jemaah di Arab Saudi. Ujungnya, Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) juga bisa ikut diturunkan.
"Harapannya kalau ditambah bandaranya, nanti masa tinggal jemaah lebih singkat. Kalau sekarang 40-an hari maka nanti ketika ada penambahan bandara bisa mencapai 30 atau 35 hari," tutur Nasrullah.
Selain itu, pihaknya juga mengusulkan agar Pemerintah Arab Saudi memperluas layanan fast track. Saat ini, layanan tersebut baru bisa dilakukan untuk jemaah embarkasi Jakarta-Pondok Gede (JKG) dan Jakarta-Bekasi (JKS) yang terbang melalui Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang.
"Kita ada 14 embarkasi, semuanya diusulkan mendapat layanan fast track," kata Konsul Haji Konjen RI di Jeddah tersebut. Dengan layanan fast track, jemaah haji tidak akan diperiksa imigrasi Saudi lantara pemeriksaan karena sudah dilakukan di embarkasi asal di Indonesia.
Dalam pertemuan itu, pemerintah Indonesia juga mengusulkan agar agar ada solusi lain yang bisa diterapkan untuk memudahkan jemaah terkait proses pemvisaan. Saat ini, lewat aplikasi bio visa, pengurusan visa haji bisa dilakukan secara online. Tujuannya untuk memberikan kemudahan dan kecepatan pemeriksaan jemaah saat tiba di Arab Saudi.
Namun realitasnya, banyak jemaah haji yang terkendala proses perekaman sidik jari (basmah) terkait penggunaan visa bio ini. Akibatnya, tak sedikit jemaah yang terpaksa berurusan dengan petugas imigrasi lebih lama ketika tiba di Bandara Madinah atau Jeddah.
"Kita mengusulkan agar ada solusi lain, misalnya perekaman retina yang sama akuratnya. Hanya mungkin teknologinya perlu dikembangkan," ucap Nasrullah. "Usulan itu sangat diapresiasi Kementerian Haji Arab Saudi".
Selain itu, pihaknya juga mengusulkan agar Pemerintah Arab Saudi memperluas layanan fast track. Saat ini, layanan tersebut baru bisa dilakukan untuk jemaah embarkasi Jakarta-Pondok Gede (JKG) dan Jakarta-Bekasi (JKS) yang terbang melalui Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng.
Tanazul
Sementara itu, jumlah jemaah haji Indonesia yang mengajukan tanazul atau pemindahan dari satu kloter ke kloter lainnya tahun ini meningkat. Sampai saat ini tercatat sudah ada 75 jemaah haji yang mengajukan tanazul untuk bisa bergabung kembali dengan kelompok terbang (kloter) asalnya.
Kepala Seksi Bidang Layanan Kedatangan dan Kepulangan Daerah Kerja (Daker) Madinah PPIH Arab Saudi, Cecep Nusyamsi menjelaskan, tanazul adalah permohonan untuk pindah kloter. Setiap tahun tanazul itu selalu ada.
"Ada tanazul penggabungan kloter, ada tanazul yang ingin pulang duluan karena sesuatu mungkin karena kesehatan dan sebagainya," ucap Cecep. Ia memprediksi jumlah jemaah haji yang mengajukan tanazul akan terus bertambah. Hal ini mengingat saat kedatangan gelombang pertama di Madinah, banyak jemaah yang terpisah dari kloternya akibat berubahnya kapasitas kursi pesawat, ada yang sakit dan dirawat, atau ada kendala saat di imigrasi sehingga ditinggal oleh rombongan.