Dewan Perwakilan Rakyat belum memulai pembahasan Rancangan Undang-undang Perampasan Aset meski sudah menerima surat presiden untuk dilakukan pembahasan. Wakil Ketua DPR Lodewijk Freidrich Paulus menyebut terdapat sejumlah mekanisme yang harus dilalui sebelum membahas RUU.
"Tidak mudah untuk bicara satu hal. Tidak mudah ya," kata Lodewijk di Kantor DPP Partai Golkar, Jakarta Barat, Rabu (28/6).
Ia menjelaskan, mekanisme pembahasan RUU dimulai dari peninjauan yang dilakukan oleh badan keahlian. Kemudian, dibutuhkan pengambilan suara dari sembulan fraksi.
Presiden Joko Widodo sebelumnya menekankan bahwa penyelesaian Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset ada di tangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Ia telah menyurati DPR untuk meminta pembahasan RUU tersebut.
"Masa saya ulang-ulang terus, sudah di DPR. Sekarang, dorong saja yang di sana (DPR)," kata Jokowi dalam saluran resmi Sekretariat Presiden, Selasa (27/6).
RUU Perampasan Aset sebetulnya telah melewati proses panjang. Usul pembentukannya dimulai sejak 2008 pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atas inisiatif Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Namun, hingga kini aturan yang memiliki fungsi dalam upaya pemberantasan korupsi itu belum juga disahkan.
Pemerintah juga telah memasukkan calon beleid tersebut ke dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2023. RUU Perampasan Aset ini dinilai perlu segera disahkan salah satunya karena merupakan kebutuhan perangkat hukum dalam memerangi korupsi. Selain itu juga sebagai cara mengembalikan kerugian negara akibat korupsi.