Presiden Joko Widodo memimpin rapat terbatas dalam mengantisipasi dampak El Nino hari ini. Salah satu kepala lembaga yang diundang adalah Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Ratnawati.
Dwikorita meramalkan puncak El Nino tahun ini akan terjadi pada Agustus-September. Antisipasi fenomena cuaca juga sudah dilakukan sejak Februari-April 2023.
"Sehingga dikhawatirkan akan berdampak pada ketersediaan air atau kekeringan, juga produktivitas pangan, atau berdampak pada ketahanan pangan," kata Dwikorita dalam keterangan resmi, Selasa (18/7).
Dwikorita juga memperkirakan El Nino tahun ini akan terjadi pada skala lemah hingga moderat. Namun, masih ada potensi terjadinya banjir selama El Nino berlangsung. Pasalnya, cuaca di dalam negeri dipengaruhi oleh Samudra Hindia dan Samudra Pasifik.
Seperti diketahui, El Nino merupakan fenomena pemanasan suhu muka laut atau SML di atas kondisi normalnya yang terjadi di Samudera Pasifik bagian tengah. Pemanasan SML umumnya meningkatkan potensi pertumbuhan awan di Samudera Pasifik tengah dan mengurangi curah hujan di wilayah Indonesia.
Alhasil, El Nino memicu terjadinya kondisi kekeringan di penjuru negeri secara umum. Akan tetapi, Dwikorita menilai topografi Indonesia yang penuh dengan gunung dan di garis khatulistiwa membuat daerah di dekat pusat kekeringan mengalami banjir atau bencana hidrometeorologi.
"Artinya bukan berarti seluruhnya serempak kering, ada di sela-sela itu yang juga mengalami bencana hidrometeorologi basah," kata Dwikorita.
BMKG mengimbau masyarakat untuk mengatur tata kelola air hingga beradaptasi terhadap pola tanam. "Juga terus memonitor perkembangan informasi cuaca dan iklim yang sangat dinamis dari waktu ke waktu dari BMKG," ujarnya.
Sebelumnya, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mengatakan, puncak El Nino ekstrem akan terjadi pada Agustus nanti. Kondisi ini dapat menyebabkan kekeringan yang melanda antara 560.000 hingga 870.000 hektare lahan. Luas lahan yang mengalami kekeringan ini jauh lebih besar dari biasanya di 200.000 hektare.
El Nino kembali ke Indonesia di tengah kemandekan produktivitas padi yang telah terlihat sejak 2018. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, produktivitas padi cenderung mandek di level 52 kuintal per hektare antara 2018 dan 2022. Dalam periode ini, luas panen dan produksi sama-sama menyusut.