Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menegaskan bahwa Indonesia memprioritaskan penanganan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) melalui penyalahgunaan teknologi daring (online). Dia menyoroti semakin banyaknya pelaku yang menyalahgunakan teknologi untuk merekrut dan mengeksploitasi korban.
“Pemerintah telah menangani lebih dari 2.800 warga Indonesia yang menjadi korban penipuan semacam itu di negara-negara tetangga, dan 40% di antaranya adalah korban perdagangan manusia,” kata Retno dalam salinan pidato yang dia sampaikan pada Forum Pemerintah dan Bisnis Bali Process (GABF) di Bali, Kamis (12/8).
Retno pun menyerukan negara-negara anggota Bali Process untuk mencegah kawasan Asia-Pasifik menjadi pusat perdagangan manusia. “Tujuan kita adalah menjadikan kawasan ini sebagai pusat pertumbuhan, bukan pusat perdagangan manusia,” ujar dia.
Ia juga mendorong komunitas bisnis untuk turut berperan dalam upaya pencegahan. Menurut dia, keuntungan tidak bisa diambil dengan mengorbankan hak asasi dan martabat manusia.
Retno turut mendorong standar uji kelayakan (due diligence) pada bisnis dan HAM. Ini agar komunitas bisnis dapat mempertimbangkan untuk mengembangkan standar uji tuntas untuk menegakkan rekrutmen dan pembayaran yang adil, transparan, dan etis, serta memastikan lingkungan kerja yang lebih baik bagi pekerja mereka.
Selain itu, menurut dia, pelaku usaha diharapkan secara sukarela melaporkan tindakan yang mereka ambil untuk memerangi perdagangan manusia dan perbudakan, termasuk mendidik pekerjanya tentang ancaman yang ditimbulkan oleh kejahatan tersebut. Retno mendorong pemanfaatan teknologi untuk memerangi perdagangan manusia.
“Teknologi harus menjadi sekutu kita, bukan musuh kita,” tutur dia.
Menurut dia, pelaku usaha dapat mendukung penegakan hukum dalam mengakses platform teknologi dan berkontribusi dalam upaya pencegahan secara daring dengan mengembangkan platform e-learning untuk pengembangan kapasitas atau pelatihan berbasis keterampilan, serta meningkatkan kesadaran media sosial tentang isu ini.
“Langkah-langkah ini dapat membantu mencegah pekerja di wilayah tersebut menjadi korban perdagangan manusia,” kata dia.
Retno juga mengajak negara anggota Bali Process untuk mendukung kerja sama regional melawan perdagangan manusia karena isu ini telah menjadi masalah kawasan yang membutuhkan tanggapan bersama.
Dalam KTT ASEAN ke-42 Mei lalu, para pemimpin ASEAN berjanji akan menindak penyalahgunaan teknologi untuk perdagangan manusia, termasuk melalui sinergi antar mekanisme ASEAN. Retno menyebut bisnis dapat memperkuat upaya tersebut dengan memperluas kerja sama dalam investigasi bersama di seluruh kawasan, memberikan perlindungan bagi pelapor, dan mendukung undang-undang yang kuat tentang bisnis dan hak asasi manusia.
“Mari kita bergandengan tangan melawan perdagangan manusia—pemerintah, organisasi regional, dan bisnis. Kita harus berperan sebagai koalisi ‘orang-orang baik’, dengan GABF sebagai wadah peleburan solusi, untuk menciptakan kawasan yang bebas dari perdagangan manusia,” ujar dia.
Bali Process adalah forum internasional resmi yang didirikan pada 2002 untuk memfasilitasi diskusi dan berbagi informasi tentang isu-isu yang berkaitan dengan penyelundupan manusia, perdagangan manusia, dan kejahatan transnasional lainnya. Anggota Bali Process terdiri dari 45 negara serta empat organisasi internasional yaitu UNHCR, IOM, UNODC, dan ILO.