Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Firli Bahuri ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan pemerasan terhadap mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo oleh Bareskrim Polri pada Rabu (22/11) malam. Firli sebelumnya juga pernah menghadapi sejumlah duguaan pelanggaran kode etik.
Direktur Reserse Kriminal KhususPolda Metro Jaya Kombes Pol Ade Safri Simanjuntak menjelaskan, penetapan FB sebagai tersangka dilakukan setelah gelar perkara pada Rabu (22/11).
"Hasilnya, ditemukan bukti yang cukup untuk menetapkan saudara FB selaku Ketua KPK RI sebagai tersangka dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi berupa pemerasan,” kata Ade kepada wartawan di Polda Metro Jaya pada Rabu malam.
Menurut Ade, penyidik Polda Metro Jaya menduga Firli Bahuri terlibat dalam penerimaan gratifikasi atau penerimaan hadiah atau janji oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara yang berhubungan dengan jabatannya. Gratifikasi itu diterima Firli terkait penanganan permasalahan hukum di Kementerian Pertanian 2020-2023.
Profil Ketua KPK Firli Bahuri
Firli menghabiskan sebagian besar kariernya di kepolisian sebelum memimpin KPK. Pria kelahiran Kabupaten Ogan Komering Ulu itu adalah tamatan pendidikan di Akademi Kepolisian (Akpol) di Semarang, Jawa Tengah, pada Juli 1990.
Ia mengawali karier sebagai komandan peleton II sabhara di Direktorat Samapta Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya (Polda Metro Jaya) pada Agustus 1991.
Firli telah beberapa kali terlibat dalam masalah terkait pelanggaran kode etik dan maladministrasi sejak berkarier di KPK pada April 2018. Pada Mei 2018, misalnya, ia melanggar kode etik berat karena bertemu dua kali dengan Gubernur Nusa Tenggara Barat Muhammad Zainul Majdi.
Pada 2020, Firli kembali melakukan pelanggaran kode etik dan pedoman berperilaku karena menyewa helikopter untuk kepentingan pribadi yang menghabiskan Rp 28 juta. Ketua KPK itu menggunakan helikopter untuk perjalanan antara Jakarta dan Palembang dan Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan.
Karier Firli memasuki babak baru pada September 2012 denga menjabat sebagai ajudan Wakil Presiden Boediono hingga Agustus 2014. Saat itu, ia telah menyandang pangkat Komisaris Besar Polisi (Kombespol).
Firli juga pernah memimpin kepolisian daerah. Ia menjabat sebagai Kepala Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat antara Februari 2017 dan April 2018.
Firli kemudian ditunjuk sebagai deputi penindakan KPK pada 2018, tetapi sempat kembali ke kepolisan. Ia ditunjuk memimpin Kepolisian Daerah Sumatera Selatan antara Juni dan November 2019, Kepala Badan Pemeliharaan Keamanan Polri pada November 2019, dan Analis Kebijakan Utama Baharkam Polri pada Desember 2019. Ia kemudian ditunjuk sebagai ketua KPK sejak September 2019.
Sejak berkarier di KPK, Firli beberapa kali terlibat dalam masalah terkait pelanggaran kode etik dan maladministrasi. Pada Mei 2018, misalnya, Firli melanggar kode etik berat karena bertemu dua kali dengan Gubernur Nusa Tenggara Barat Muhammad Zainul Majdi. Zainul saat itu berstatus saksi dalam kasus dugaan korupsi di perusahaan pertambangan PT Newmont Nusa Tenggara, sedangkan Firli sebagai deputi penindakan KPK.
Pada 2020, Firli kembali melakukan pelanggaran kode etik dan pedoman berperilaku karena menyewa helikopter untuk kepentingan pribadi yang menghabiskan Rp 28 juta. Ia menggunakan helikopter untuk perjalanan antara Jakarta dan Palembang dan Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan.
Firli juga kembali menghadapi laporan dugaan maladministrasi terkait pemberhentian eks direktur penyelidikannya, Endar Priantoro. Endar melaporkan Firli dan petinggi KPK lainnya ke Ombudsman karena kasus itu. Pemberhentian tersebut bertentangan dengan surat tertanggal 29 Maret 2023 dari Kepala Kepolisian Negara (Polri) Listyo Sigit Prabowo yang memperpanjang masa jabatan Endar.