Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto meminta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) membeberkan ke publik temuan dugaan transaksi janggal di masa kampanye Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
"Kami minta untuk PPATK juga menyampaikan ke publik sehingga sangat jelas," kata Hasto dalam konferensi pers di markas DPP PDIP, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, Jumat (15/12).
Selain itu, Hasto pun mengatakan perlunya institusi pengawas agar transaksi-transaksi mencurigakan dapat diawasi. Menurutnya hal ini sangat penting untuk menjaga pesta demokrasi.
"Sebagaimana almarhum Bapak Nurcholish Madjid saat itu mendirikan KIPP Komite Independen Pemantau Pemilu untuk ikut menjadi wasit yang baik antar partai politik, antar calon,” katanya.
Pada kesempatan yang sama, Hasto juga mengungkapkan adanya partai politik yang dapat memasang balihonya di seluruh Wilayah Indonesia secara tiba-tiba. Bahkan, kata Hasto, jumlah balihonya lebih banyak dari jumlah pengurusnya.
Berdasarkan hal itu, Hasto menilai perlu dibentuk komite independen untuk mengawasi. "Ini harus ada yang menghitung, berapa, apakah partai-partai itu melaporkan? Berapa biaya pemasangan baliho, berapa jumlah baliho yang dipasang?” kata Hasto.
Sebelumnya, temuan dugaan transaksi janggal di masa kampanye Pemilu 2024 itu diungkapkan oleh Kepala PPATK Ivan Yustiavandana. Ivan mengatakan, PPATK telah mengirimkan surat pada KPU dan Bawaslu terkait temuan tersebut.
"Kami sudah sampaikan beberapa transaksi terkait dengan angka-angka yang jumlahnya besar ya," kata Ivan di Jakarta Barat, Kamis (14/12).
Ivan mengungkapkan, transaksi janggal itu berjumlah triliunan rupiah serta melibatkan ribuan nama termasuk partai politik. "Kenaikan lebih dari 100 persen di transaksi keuangan tunai, di transaksi keuangan mencurigakan, segala macam," kata Ivan.
Ivan mengatakan transaksi keuangan mencurigakan kerap meroket menjelang pemilihan umum. Pada Pemilu 2019, laporan transaksi keuangan mencurigakan tertinggi terjadi di DKI Jakarta, dengan jumlah transaksi mencapai lebih dari Rp540 triliun, diikuti oleh Jawa Timur sebesar Rp367 triliun.
Secara keseluruhan, total nilai transaksi mencurigakan di 34 provinsi tembus Rp1.147 triliun.