Revisi UU MK, Guru Besar UMY Usul Sistem Penunjukan Hakim Diubah

ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/aww.
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo (kanan) berdiskusi dengan anggota Majelis Hakim MK Saldi Isra (kiri) dalam sidang pengujian materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) di Gedung MK, Jakarta, Kamis (22/2/2024).
22/2/2024, 17.08 WIB

Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Iwan Satriawan, menilai Mahkamah Konstitusi atau MK sudah tidak memenuhi tugas check and balances yang seharusnya diemban. Untuk mengatasi hal itu, menurutnya sistem penunjukan Hakim MK harus diubah. 

“Harusnya ketika eksekutif dan legislatif bersatu, hak minoritas tidak didengar di DPR, MK yang menjalankan check and balances. Tapi sekarang MK sudah dirusak,” kata Iwan di Kantor ICW, Jakarta, Kamis (22/2).

Usulan perubahan sistem penunjukan hakim MK yang disampaikan Iwan sejalan dengan revisi Undang-Undang MK yang tengah bergulir di DPR. Ia berharap parlemen bisa melakukan perubahan substantif yang dapat mendorong perbaikan kualitas penegakan konstitusi. 

Iwan menjelaskan saat ini Indonesia menggunakan sistem pengangkatan hakim MK seperti di Korea Selatan. Sembilan Hakim Konstitusi dipilih oleh tiga lembaga secara rata, yakni DPR, Presiden, dan Mahkamah Agung. 

Menurut Iwan, sistem ini dapat berjalan dengan baik di Korea lantaran memiliki tradisi politik yang baik. Ia mencontohkan keberadaan oposisi yang kuat dan tidak tergiur dengan politik transaksional di Korea Selatan. 

Di sisi lain, Korea mewajibkan proses confirmation hearing di parlemen secara terbuka untuk menetapkan hakim MK. Dengan begitu, masyarakat bisa tahu siapa calon Hakim Konstitusi dan apa alasan dibalik pengangkatan mereka. 

Halaman:
Reporter: Amelia Yesidora