Duet Anies - Ahok di Jakarta Dianggap Gimik Belaka dan Sulit Terwujud

ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/aww.
Capres nomor urut 1 Anies Baswedan menunjukkan jari yang telah dicelup tinta usai melakukan pencoblosan Pemilu 2024 di TPS 60, Lebak Bulus, Jakarta, Rabu (14/2/2024).
8/5/2024, 13.49 WIB

Pakar politik menilai wacana pencalonan dua mantan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan dan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dalam Pilgub Jakarta 2024 sulit terjadi.

Dengan adanya perbedaan latar belakang politik dan rivalitas di Pilgub 2017 lalu, pakar menilai kecil kemungkinan mereka untuk berpasangan dan menang dalam Pilgub Jakarta 2024.

“Potensi memenangkan pilkada jadi kecil. Banyak pendukung Ahok yang akhirnya menolak Ahok karena ada Anies di situ, dan sebaliknya. Ini yang harus dipikirkan parpol matang-matang,” ujar Pakar Komunikasi Politik Universitas Padjajaran, Kunto Adi Wibowo, pada Katadata.id Rabu (8/5).

Kunto mengatakan ada tiga alasan lain mengapa duet Anies-Ahok sulit terjadi dan sulit menang di Pilgub Jakarta 2024.  Pertama, Kunto ragu dua tokoh ini mau mengalah karena sudah pernah menjadi Gubernur DKI Jakarta sebelumnya.  

Kedua, PDIP selaku partai tempat Ahok bernaung bakal sulit menerima Anies dengan mudah, begitupun sebaliknya. Kunto menilai Anies juga tidak akan semudah itu menerima pinangan dari PDIP lantaran dua kubu ini pernah berlawanan baik di Pilkada Jakarta 2017 dan Pilpres 2024.

 “Sepertinya tidak ada kawan dan lawan abadi, tapi urusannya ini lebih kepada (perbedaan) ideologis,” kata Kunto.

Ketiga, Kunto mengatakan basis pemilih dua sosok tersebut punya karakter berseberangan. Polarisasi dari masing-masing pendukung Anies dan Ahok saat ini masih terasa kuat imbas Pilkada Jakarta 2017.

Memori kolektif dari pendukung juga masih melekat, terutama karena polarisasi dalam konteks agama dan identitas etnis. Ahok, yang merupakan seorang Kristen keturunan Tionghoa saat itu menjadi sasaran kritik oleh sebagian kelompok Muslim konservatif.

AHOK RESMI JADI KOMISARIS UTAMA PERTAMINA (ANTARA FOTO/Hiro)

 

 Sebaliknya, Anies Baswedan, seorang Muslim, dianggap sebagai kandidat yang melindungi agama Islam dan dianggap lebih cocok untuk memimpin Jakarta. Anies juga lebih diterima oleh kelompok-kelompok etnis pribumi, karena identitasnya yang lebih sesuai dengan mayoritas penduduk Jakarta.

"Sehingga kalau digabungkan, maka yang terjadi mungkin bukan penguatan, namun justru pengurangan basis massa," kata Kunto.

Sekadar Gimik

Peneliti Centre for Strategic and International Studies, Nicky Fahrizal, juga sepakat dengan Kunto. Menurut Nicky, kedua figur ini punya cara komunikasi publik dan arah pembangunan yang jauh berbeda. 

“Tapi menurut nalar saja, apa iya dua orang yang figurnya sama-sama cocok menjadi gubernur bisa kerja sama? Mereka sama-sama figur sentral,” ujar Nicky pada Katadata, Rabu (6/5).

Oleh sebab itu, Nicky menyebut duet Anies-Ahok butuh figur penengah yang lebih senior. Nicky menyebut kemungkinan mediator ini adalah Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri atau Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 Jusuf Kalla.

Nicky juga melihat kemungkinan duet Ahok-Anies ini adalah sebuah gimik politik yang dimainkan menjelang Pilkada 2024. Seluruh partai tengah menutupi langkah dan strategi politik masing-masing, sehingga lawan politik sulit menyiapkan perlawanan.

“Apalagi bagi PDIP kekalahan Pilpres kemarin perlu ditanggapi serus. Paling tidak mereka harus menang signifikan di tingkat Pilkada, jadi gimik-gimik ini perlu," katanya.

Reporter: Amelia Yesidora