Revisi Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang tengah dibahas Dewan Perwakilan Rakyat menjadi sorotan masyarakat. Pasalnya, revisi UU Nomor 32 Tahun 2002 itu dianggap memuat beberapa hal yang dianggap mengurangi kebebasan berpendapat masyarakat.
Salah satu poin yang menjadi buah bibir adalah melarang penayangan jurnalistik investigasi. Kritik masyarakat ini juga sudah sampai pada anggota dewan. Salah satu anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat, Dave Laksono, menyatakan pihaknya bakal memperhatikan aspirasi tersebut selama masa revisi.
“Masukan yang disampaikan rekan-rekan di media tentang keberatan dan juga pandangan mengenai RUU Penyiaran tentu menjadi masukan yang baik untuk memperkaya dan memperkuat undang-undang ini,” kata Dave seperti dikutip Senin (13/5).
Ia pun mengatakan pemerintahan Jokowi maupun pemerintahan Prabowo tidak mengusulkan adanya pembatasan. Justru, Dave menyatakan penting memberikan informasi yang lebih tepat untuk mendukung transparansi dan akuntabilitas.
“Justru, media harus mengawal setiap kebijakan pemerintah agar tepat sasaran dan tidak ada penyelewengan sedikitpun dari apa yang menjadi hak milik rakyat dan juga bangsa secara keseluruhan,” ujar Dave.
Berikut tiga poin kontroversial RUU Penyiaran yang Katadata terima, berdasar dokumen Bahan Rapat Badan Legislasi DPR per tanggal 27 Maret 2024:
KPI Bisa Menyelesaikan Sengketa Pers
Undang-undang ini memberi wewenang pada KPI untuk menyelesaikan sengketa dalam pengawasan isi siaran dan konten siaran. Untuk melakukan hal ini, KPI harus membentuk panel ahli yang independen dan bersifat sementara. Hal ini tercantum dalam Pasal 8A ayat 1 poin k dan q dan kembali ditegaskan dalam pasal 42.
Kebijakan ini berbeda dengan sebelumnya, yakni wewenang menyelesaikan sengketa jurnalistik berada di Dewan Pers. Aliansi Jurnalis Indonesia sudah buka suara atas pengalihan wewenang tersebut.
“Padahal selama ini kasus sengketa jurnalistik di penyiaran selalu ditangani oleh Dewan Pers. Draf RUU Penyiaran mempunyai tujuan mengambil alih wewenang Dewan Pers dan akan membuat rumit sengketa jurnalistik,” kata Pengurus Nasional AJI Indonesia, Bayu Wardhana, dilansir Selasa (14/5).
Mengatur Lembaga Penyiaran Berlangganan
Pasal 26 ayat 3 poin b menyebut Lembaga Penyiaran Berlangganan alias LPB wajib menyediakan kapasitas kanal saluran untuk menyalurkan program dari Lembaga Penyiaran Publik seperti RRI dan TVRI. Pasal ini juga mengatur perbandingan kanal saluran siaran produksi dalam negeri dan luar negeri.
“Menyediakan 1 (satu) kanal saluran Siaran produksi dalam negeri berbanding 10 (sepuluh) Siaran produksi luar negeri atau paling sedikit 1 (satu) kanal saluran Siaran produksi dalam negeri jika jumlah kanal saluran Siaran kurang dari 10 (sepuluh),” tulis pasal 26 ayat 3c, dikutip Selasa (14/5).
Peraturan ini juga mengatur peran pemerintah dalam modal usaha LPB. Dalam Pasal 26A, tertulis saham LPB tidak boleh dimiliki oleh asing. Bila melanggar, pemerintah bisa memberi sanksi berupa teguran tertulis, penolakan perpanjangan Izin Penyelenggara Penyiaran atau IPP, hingga pencabutan IPP.
“LPB dilarang melakukan penambahan dan pengembangan modal yang berasal dari modal asing,” tulis Pasal 26A ayat 3.
Melarang Jurnalistik Investigasi hingga Politik terkait Pemilik Media
Pasal 50B draf RUU ini menjelaskan Standar Isi Siaran atau SIS yang menjadi panduan kelayakan isi siaran dan konten siaran. Dalam ayat 2, tertulis 11 konten yang dilarang, salah satunya di poin c, yakni penayangan jurnalistik investigasi.
“Selain memuat panduan kelayakan Isi Siaran dan Konten Siaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), SIS memuat larangan mengenai (…) c. penayangan eksklusif jurnalistik investigasi,” tulis beleid ini.
RUU Penyiaran ini juga melarang penayangan isi siaran dan konten siaran yang mengandung unsur mistik. Kemudian, juga melarang siaran yang menyajikan perilaku lesbian, homoseksual, biseksual, dan transgender
Konten lain yang juga dilarang adalah yang secara subjektif menyangkut kepentingan politik terkait pemilik dan/atau pengelola lembaga penyiaran.