Kasus pembunuhan yang terjadi di Cirebon 2016 silam semakin viral di media massa dan media sosial. Ini setelah muncul beberapa perkembangan, yang diutarakan oleh salah satu pelaku yang telah bebas, dan pengacara dari para pelaku yang saat ini tengah menjalani masa hukuman.
Sebelumnya, kasus pembunuhan Vina Dewi Arsita dan pacarnya, Muhammad Risky atau Eki, oleh anggota geng motor, kembali mencuat usai film 'Vina: Sebelum 7 Hari' tayang di bioskop. Vina dan Eki diketahui menjadi korban kebrutalan anggota geng motor pada 27 Agustus 2016 malam.
Delapan tahun berselang, kasus pembunuhan Vina dan Eki masih belum tuntas, meski Kepolisian telah menangkap delapan orang pelaku, yang kini tengah menjalani masa hukuman. Pasalnya, masih ada tiga pelaku pembunuhan, yang salah satunya disebut sebagai otak dibalik aksi penyerangan terhadap Vina.
Tiga orang tersebut, adalah Pegi alias Perong, Andi, dan Dani. Keluarga korban menuntut agar ketiga pelaku yang masih buron ini untuk segera ditangkap, guna mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Perkembangan Terbaru Kasus Pembunuhan Vina dan Eki
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jawa Baat Kombes Surawan mengatakan, pihaknya masih memburu ketiga pelaku tersebut. Ia juga menegaskan, bahwa pengusutan kasus pembunuhan Vina dan Eki belum dihentikan. Bareskrim Polri pun juga ikut turun tangan membantu Polda Jawa Barat, dengan mengerahkan tim asistensi, untuk mencari keberadaan ketiga pelaku yang masih buron.
Di tengah upaya Kepolisian yang masih memburu tiga buronan pelaku pembunuhan Vina dan Eki, terdapat beberapa perkembangan dari kasus ini yang kini menjadi perhatian masyarakat, dan pegiat media sosial.
1. Dugaan Salah Tangkap
Salah satu pelaku yang telah menjalani hukuman penjara atas kasus pembunuhan Vina dan Eki, Saka Tatal, mengungkapkan bahwa dirinya merupakan korban salah tangkap dari Kepolisian.
Mengutip CNN Indonesia, ia mengatakan tidak pernah mengenal Vina dan Eki yang menjadi korban pembunuhan tersebut. Ia mengaku heran saat Polisi menyeret dirinya dalam kasus itu, bahkan menangkapnya.
"Sama korban saya enggak kenal, saya bingung dan takut saat itu. Karena saya dipaksa sampai dipukul, ditendang, disetrum disuruh ngaku," kata Saka.
Saka diketahui mendapatkan vonis delapan tahun penjara, karena saat itu ia masih berstatus di bawah umur atau anak berhadapan dengan hukum. Ia bebas pada 2020 karena masa hukumannya berkurang dengan adanya remisi. Sementara, tujuh orang lainnya masih menjalani hukuman penjara seumur hidup.
Saka menjelaskan, penangkapan terhadap dirinya terjadi pada 31 Agustus 2016, dimana saat itu ia masih berusia 15 tahun. Ketika itu, ia diminta tolong oleh pamannya, Eka Sandi, yang kemudian menjadi salah satu terdakwa dalam kasus tersebut.
Setelah mengisi bensin motor, Saka bermaksud mengembalikannya ke sang paman, yang saat itu sedang berkumpul dengan teman-temannya di SMPN 11 Kota Cirebon. Saat hendak mengembalikan motor tersebut, sejumlah anggota polisi di lokasi dan tengah mengamankan beberapa orang, termasuk pamannya. Ia pun ikut diamankan oleh Polisi.
Ia mengaku tidak diberikan penjelasan oleh aparat kepolisian dan langsung dibawa ke Polres Cirebon Kota. Setelah itu, ia dibawa ke salah satu ruangan dan menerima penganiayaan dari sejumlah anggota polisi. Ketika itulah ia dipaksa untuk mengaku sebagai pelaku pembunuhan Vina dan Eki.
"Pas sampai di kantor polisi itu saya enggak ditanya, tahu-tahu saya langsung disiksa, dipukul, diinjak-injak sampai disetrum. Dipaksa buat mengaku," kata Saka, dikutip dari CNN Indonesia.
Perihal salah tangkap ini juga diungkapkan oleh Jogi Nainggolan, pengacara terpidana kasus pembunuhan Vina dan Eki. Ia mengatakan, delapan terpidana merupakan korban salah tangkap akibat informasi yang tidak benar yang diterima Polresta Cirebon.
Dilansir dari BeritaSatu, Jogi menjelaskan, penangkapan delapan terpidana tersebut dilakukan oleh Ipda Rudiana, yang merupakan ayah dari Eki, salah satu korban. Ipda Rudiana disebut menjabat sebagai KBO Satuan Narkoba, dan langsung mencari pelaku begitu mengetahui anaknya menjadi korban. Padahal, ia bukan bagian dari Satreskrim.
Rudiana kemudian mendapatkan informasi dari dua karyawan cuci mobil, Aeb dan Dede. Dua orang ini disebut Jogi memberikan keterangan salah, bahwa sekelompok anak muda yang berkumpul diduga menjadi penyebab kematian Eki.
"Rudiana kemungkinan besar melakukan penangkapan terhadap mereka tanpa bukti dan surat penangkapan. Karena ia berada di unit narkoba, bukan unit yang seharusnya menangani kasus ini," kata Jogi.
Ia menjelaskan, saat terjadi peristiwa pembunuhan tersebut, kliennya tidak berada di lokasi. Melainkan, tengah berkumpul di tempat berbeda. Jogi juga mengatakan, bahwa kliennya hanya buruh bangunan dan bukan bagian dari geng motor.
2. Salah Satu Terpidana Disebut Tak Terlibat karena Keterbelakangan Mental
Masih berkaitan dengan dugaan adanya salah tangkap dari Kepolisian dalam kasus pembunuhan Vina dan Eki, salah satu terpidana diyakini tidak bersalah karena keterbelakangan mental. Mengutip Kompas.com, terpidana yang dimaksud, adalah Sudirman.
Hal ini diungkapkan oleh ayah Sudirman, yang bernama Suratno, saat ditemui oleh Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Dedi Mulyadi. Dalam pertemuan tersebut, Suratno mengatakan bahwa anaknya tidak seharusnya menjalani hukuman penjara seumur hidup.
Ia menjelaskan, saat terjadi pembunuhan, Sudirman yang saat itu berusia 20 tahun, tidak berada di lokasi. Suratno juga menyebutkan, bahwa anaknya tidak mungkin melakukan pembunuhan, karena mengalami keterbelakangan mental. Ia menyebutkan, bahwa anaknya hanya bersekolah hingga SD dan tidak melanjutkan ke tingkat pendidikan menengah karena masalah keterbelakangan mental.
“Ditangkapnya setelah tiga hari kejadian. Demi Allah waktu kejadian itu anak saya di rumah. Anak saya keterbelakangan mental, tidak pernah bergaul, pendiam. Makanya waktu ditangkap itu saya kaget,” kata Suratno.
Suratno menjelaskan, selama menjalani pemeriksaan polisi hingga kasus ini naik ke persidangan, Sudirman diancam agar mau mengaku bahwa ia merupakan salah satu pembunuh Vina dan Eki.
Kuasa hukum terpidana kasus pembunuhan Vina dan Eki, Titin Prialianti, membenarkan kabar bahwa Sudirman mengalami keterbelakangan mental. Ia juga menyebutkan, bahwa selama persidangan Sudirman diketahui juga menjadi satu-satunya terpidana yang tidak pernah meminum minuman keras, dan kerap mengatakan 'saya disuruh mengaku'.
3. Dugaan Adanya DPO Keempat
Selain simpang-siur dugaan salah tangkap yang dilakukan Kepolisian, dalam kasus pembunuhan Vina dan Eki juga muncul kabar adanya buronan keempat atau DPO keempat, yang dihilangkan.
Hal ini diungkapkan oleh Pasalnya, baru-baru ini pengacara keluarga Vina, yakni Putri Maya Rumanti. Dalam wawancara dengan TV One, ia mengatakan bahwa sebenarnya ada empat orang yang masuk dalam daftar pencarian orang atau DPO, bukan tiga seperti yang selama ini diberitakan.
Ia menjelaskan, mengetahui adanya DPO keempat setelah bertemu dengan pengacara terpidana Jogi Nainggolan, berdasarkan berkas acara pemeriksaan atau BAP salah satu tersangka.
"Jadi, saya kemarin sempat berbicara dengan kuasa hukum tersangka. Itu sebenarnya dalam BAP itu ada empat DPO yang dituangkan, tapi yang satu dihilangkan, nah yang tiga dijadikan DPO. Ini yang saya dapatkan keterangannya dari Pak Jogi selaku kuasa hukum tersangka, ia menyampaikan 'Justru sebenarnya ada empat orang tersangka, bukan tiga," kata Putri.
Meski demikian, baik Putri maupun Jogi tidak mengetahui identitas DPO keempat yang dimaksud. Putri hanya mengatakan, bahwa dirinya meminta kepada Jogi untuk mempelajari BAP sendiri.
Banyaknya dugaan yang kini sudah beredar luas di masyarakat melalui media sosial, Mantan Kabareskrim Polri Komjen (Purn) Ito Sumardi meminta masyarakat untuk bersabar menunggu dan menyerahkan sepenuhnya proses penyidikan kasus tersebut kepada Polda Jawa Barat.
“Saya kira kita perlu menunggu proses penyidikan, sambil menunggu kita harus menghindari sangkaaan kepada orang yang tidak didukung dengan buki yang cukup. Karena ini memiliki konsekuensi hukum,” kata Ito, dikutip dari laman resmi Mabes Polri.
Ia menjelaskan, saat ini Mabes Polri, melalui Bareskrim telah ikut memberikan bantuan berupa asistensi kepada penyidik Polda Jawa Barat. Meski demikian, ia mengingatkan bahwa pengungkapan kasus pembunuhan ini memiliki tantangan tersendiri. Sebab, kasus terjadai sekitar delapan tahun yang lalu, sehingga perlu adanya ketelitian untuk menelusuri kembali kasus tersebut.