Hasto Singgung Beda Perlakuan Hukum Dirinya dengan Sukarno - Megawati
Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto menilai penegakan hukum saat ini tak lebih baik dari masa kolonial dan orde baru.
Hasto mencontohkan, Sukarno dan Megawati Soekarnoputri yang masih boleh didampingi penasihat hukum ketika menghadapi pemeriksaan.
Presiden RI pertama pun saat menjalani pemeriksaan di era kolonial mendapat hak pendampingan. "Bung Karno, meskipun hukum kolonial, masih bisa didampingi penasihat hukumnya, Itu banyak dokumennya."
Begitu juga Ketika Megawati menjalani pemeriksaan di era Orde Baru."Ketika Bu Megawati berjuang, menghadapi pemerintahan yang otoriter, di mana saat itu, Bu Megawati masih bisa didampingi pengacara," kata Hasto kata Hasto dalam agenda Sekolah Hukum yang diikuti oleh seluruh calon anggota DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota terpilih 2024 Dapil DKI Jakarta di Sekolah Partai PDIP, Lenteng Agung, Jakarta, Jumat (14/6).
Hasto lalu menyinggung praktik hukum saat ini yang menurutnya belum lebih baik dari era sebelumnya. Hasto menyebut, proses yuridis belakangan ini kerap ditunggangi kepentingan pihak tertentu.
"Kini kita setelah merdeka, bagaimana hukum itu bekerja hanya karena persoalan-persoalan yang sering kali ditunggangi oleh berbagai aspek-aspek lainnya," kata Hasto.
Berdasarkan hal itu, tambah Hasto, PDIP menjadikan Sekolah Partai sebagai tempat belajar menciptakan hukum secara berkeadilan dan tak berpihak ke satu golongan saja. "Karena dengan supremasi hukum, dengan meritokrasi, kita mampu menjadi negara yang hebat," katanya.
Sebelumnya, Hasto diperiksa oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Senin (10/6) lalu. Dirinya mengaku sempat berdebat dengan penyidik lantaran tak didampingi pengacara ketika pemeriksaan.
Hasto diperiksa terkait dengan perkara daftar pencarian orang (DPO) Harun Masiku. Usai diperiksa, penyidik menyita ponsel milik Hasto serta barang milik stafnya yang bernama Kusnadi.
Harun Masiku merupakan tersangka suap penetapan anggota DPR RI periode 2019-2024. Ia merupakan caleg PDIP yang diduga melakukan suap pada mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan sebesar S$ 57.350 atau setara Rp 600 juta.