Pusat Data Nasional (PDN) Sementara di Surabaya yang dikelola Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dan Telkom Sigma mengalami serangan ransomware sejak 17 Juni lalu. Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi mengatakan ransomware yang menyerang Indonesia merupakan virus terakhir.
"Ransomware yang menyerang Indonesia ini adalah versi yang terakhir, latest version, sehingga menjadi perhatian seluruh dunia terhadap ransomware ini," kata Budi Arie dalam rapat kerja dengan Menkominfo dan Komisi I DPR RI, Kamis (27/6).
Ransomware adalah sejenis perangkat lunak berbahaya yang mampu mengambil alih kendali atas sebuah komputer dan mencegah penggunanya untuk mengakses data hingga tebusan dibayar.
Brain Cipher Ransomware adalah jenis ransomware baru yang muncul tahun ini. Ransomware ini mengenkripsi file korban dan meminta tebusan sebagai ganti kunci dekripsi.
Dalam rapat dengan Komisi I DPR, Kominfo dinilai lamban dalam menangani peretasan PDN. Anggota Komisi I DPR Dave Laksono mengatakan negara-negara lain yang pernah terserang ransomware mampu menanganinya dengan cepat.
"Penanganannya itu dalam hitungan jam, Pak, enggak sampai harian. Apalagi sampai dengan satu minggu baru bisa terselesaikan," kata Dave.
Budi menjelaskan indeks pertahanan siber tanah air dibanding negara lain. Berdasar hasil studi Massachusetts Institute of Technology Technology Review Insight 2022, peringkat Indonesia adalah ke-20 dari seluruh negara G20.
“Jadi harus juga menjadi perhatian kita semua sebagai negara dan bangsa bahwa keamanan siber kita masih perlu peningkatan yang lebih,” ujarnya.
Pemerintah mengakui tak mampu memulihkan data yang terdampak serangan ransomware di Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) 2. Saat ini, sistem PDNS 2 sudah diisolasi dan tidak dapat diakses, sehingga tidak dapat disalahgunakan.
Direktur Network dan IT Solution Telkom Herlan Wijanarko mengatakan, pihaknya berusaha menangani serangan ransomware dengan bekerja sama bersama Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Kementerian Komunikasi dan Informatika, serta Bareskrim Polri.
Tercatat hanya 44 instansi pemerintah yang datanya terselamatkan karena memiliki cadangan. Sementara, data dari 238 instansi disebutkan tidak dapat dipulihkan, karena tidak memiliki data cadangan atau datanya hilang.