Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengaku tak setuju soal usulan penghapusan aturan yang melarang prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) menjalankan bisnis. Moeldoko beranggapan penghapusan larangan berbisnis akan berpengaruh terhadap kinerja prajurit TNI nantinya.
"Saya secara pribadi tidak setuju TNI boleh bisnis. Bagaimana nanti urusan kerjaannya? TNI itu profesional, jangan bergeser dari itu," kata Moeldoko di Gedung Bina Grha, Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta pada Senin (22/7).
Mantan Panglima TNI itu menceritakan bahwa dulu TNI memiliki yayasan untuk berbisnis. Namun, seiring berjalannya waktu, ada kebijakan dari pemerintah untuk memisahkan kegiatan bisnis dari militer agar fokus utama TNI tetap pada pertahanan dan keamanan negara.
"Akhirnya lembaga-lembaga yayasan yang cenderung digunakan untuk alat bisnis sudah tidak ada lagi di TNI," ujar Moeldoko yang juga mantan Panglima TNI itu.
Adapun usulan untuk menghapus larangan prajurit berbisnis disampaikan oleh Kepala Badan Pembinaan Hukum TNI Laksamana Muda Kresno Buntoro> Kresno menyampaikannya dalam dengar pendapat publik yang dilaksanakan Kementerian Koordinator bidang Politik dan Hukum alias Kemenko Polhukam pada Kamis (11/7).
Ia mendasarkan usulan ini dari banyaknya keluarga hingga prajurit yang berbisnis. Ia mencontohkan istrinya sendiri yang membuka warung di rumah.
Menurut Kresno, bila dikaji dengan UU 34 tahun 2004, ia bisa dihukum karena ia terlibat dengan bisnis istrinya. Ia juga mencontohkan supirnya yang menjadi supir taksi online usai bekerja dengannya.
Oleh karena itu, ia meminta menghapus Pasal 39 UU TNI huruf c yang berbunyi prajurit dilarang terlibat dalam kegiatan bisnis. “Mestinya yang dilarang adalah institusi TNI untuk berbisnis, tapi kalau prajurit mau buka warung kelontong aja tidak apa-apa,” ujar Kresno, dilansir dari kanal YouTube Kemenko Polhukam, Kamis (18/7).
Pembahasan revisi UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI terus bergulir. Perubahan sudah disetujui sebagai RUU inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat dalam rapat paripurna akhir Mei lalu. Kemenko Polhukam membahas usul penghapusan pasal yang melarang personel TNI menjalankan bisnis.
Pembahasan soal larangan TNI berbisnis masuk dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU TNI. "Masih dalam proses, yang utama untuk TNI adalah Pasal 47 dan 53. Namun terkait bisnis, masih dalam pembahasan," kata Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Hadi Tjahjanto di Jakarta, Rabu (17/7) dikutip dari Antara.
Dua pasal yang disinggung Hadi adalah perpanjangan masa jabatan serta penempatan TNI di jabatan publik. Ia juga menunggu masukan dari banyak pihak untuk merevisi UU ini. "Sudah 20 tahun UU TNI berjalan, kita harus menyesuaikan kebutuhan," ujar Hadi.
Direktur Imparsial Gufron Mabruri menyorot pembahasan revisi UU TNI yang mulai bergulir terkesan dipaksakan. Ia menilai pembahasan revisi tidak mendesak dan memiliki sejumlah pasal bermasalah.
"Kami memandang DPR RI sebaiknya menghentikan segala bentuk pembahasan agenda revisi UU TNI, mengingat revisi UU TNI bukan hanya tidak mendesak," kata Gufron seperti dikutip Jumat (19/7).