BYUR! Segayung air pandan dan bunga mawar diguyur ke tubuh Amel. Setelah beberapa siraman, tubuhnya kontan kedinginan. Bau tanaman itu pun menempel kuat di badannya.
Pemilik nama lengkap Amaliya Putri itu melakukan ritual mandi khatulistiwa, tradisi bertemu Dewi Neptunus saat melewati garis tersebut di atas kapal. Ritual dilakukan untuk memberkati pelaut-pelaut muda. Setelah dimandikan, dia juga harus meminum racikan jamu.
“Aku mendapat nama baptis. Dari nama Amaliya menjadi Lyra. Nama yang diberikan punya filosofi tersendiri,” katanya melalui sambungan telepon, Kamis malam (18/7/2024).
Di atas kapal, Amel juga menyaksikan badai saat melewati Selat Bangka yang cukup membuat jantungnya berdegup tak beraturan. Ombak tinggi dan hujan deras membuat air masuk ke dalam kapal. “Kami tidur sampai goyang-goyang. Tapi [tidak panik] karena sudah diberi SOP penyelamatan diri,” kata mahasiswi Universitas Diponegoro ini.
Amel merasakan pengalaman bahari tersebut sebagai bagian dari program Muhibah Budaya Jalur Rempah dari Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Ristek, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Amel masuk gelombang pemberangkatan ketiga tahun ini yang berlangsung 5-17 Juli 2024 di atas kapal perang Republik Indonesia (KRI) Dewaruci milik TNI Angkatan Laut. Rute yang dilaluinya Tanjung Uban-Lampung-Jakarta.
Tak hanya menjalani rangkaian acara di atas kapal, mereka juga turun ke lapangan. Fokus utama perjalanan tersebut adalah Lampung. Di sana, peserta mengunjungi sejumlah tempat bersejarah dan pusat ekonomi, salah satunya perkebunan Lada Marga Tiga.
Lada menjadi bagian yang melekat di nadi masyarakat Lampung. Kehadiran komoditas ini juga tak lepas dari campur tangan Kesultanan Banten yang pernah menguasai Lampung pada abad ke-16. Berbekal transfer pengetahuan dari pakar, Amel bercerita bahwa Lampung menjadi sentra lada hitam di Indonesia, bahkan dunia.
Kedigdayaan Kesultanan Banten membuat masyarakat Lampung tunduk terhadap perjanjian yang dibuat. Kala itu, masyarakat Lampung harus menanam lada untuk dijual ke Kesultanan Banten. Bagi yang belum menikah harus menanam 500 pohon lada, sedangkan yang sudah menikah 1.000 pohon.
Praktik kolonialisme itu malah membuat Lampung berdaya. Amel bahkan menyebut, sebagian masyarakat Lampung bisa membeli kain tapis dari benang emas. Ini karena kondisi ekonomi mereka berlimpah dari perdagangan rempah.
“Lada di Lampung paling bagus di dunia setelah India. Sayangnya petani lada di Lampung sudah jarang. Tujuan menyusuri Lampung untuk mengembalikan kejayaan lada,” kata perempuan berusia 20 tahun ini.
Secara geografis, Lampung masuk dalam rute jalur rempah. Jalur ini melewati Aceh, Malaka (kini masuk wilayah Malaysia), kemudian Gujarat (kini masuk wilayah India), melalui Selat Bab El Mandeb (Yaman). Kemudian menyusuri Laut Merah sampai ke Mesir dan berujung di Istanbul (Turki). Hal itu dijelaskan Muhammad Najib, pengamat politik Islam dan demokrasi yang dikutip dari Rmol.id.
Jalur rempah juga menjadi ajang pertukaran aktivitas ekonomi-politik hingga sosial-budaya yang menghubungkan Nusantara dengan bangsa Arab, Persia, Eropa, India, China, seperti dilansir dari Harian Kompas. Bandar-bandar yang terbangun di jalur rempah bahkan mampu membentuk dan mempertalikan kota-kota kosmopolitan. Selain lada, jalur rempah turut mengedarkan cengkeh dan pala yang merupakan tumbuhan endemik Indonesia.
“Kami ingin UNESCO mengakui jalur rempah. Selama ini orang tahunya jalur sutra, padahal jalur sutra bagian dari jalur rempah,” kata Amel.
Ahmad Najib Burhani, profesor riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menilai, jalur rempah bisa bermanfaat sebagai sarana turisme untuk memperkenalkan Indonesia secara utuh, bukan hanya Bali dan Raja Ampat, tetapi juga daerah-daerah lainnya.
Menurut Najib, manfaat ini bisa lebih luas daripada sekadar nilai ekonomi. Manfaat ini bahkan menunjukkan bahwa peran Indonesia mampu menyumbang kekayaan kebudayaan dunia.
“Ini juga menguatkan ikatan Indonesia sebagai bangsa yang satu dengan keanekaragaman budaya, bahasa, agama, dan etnis,” kata Ahmad dalam opini di Harian Kompas yang dipublikasikan pada 6 Februari 2021.
Penguatan narasi jalur rempah menjadi warisan dunia ke UNESCO sebenarnya sudah digencarkan Ditjen Kebudayaan Kemendikbudristek sejak 2016. Lalu pada 2020, diskusi tersebut berkembang menjadi pelaksanaan kegiatan Muhibah Budaya Jalur Rempah (MBJR). Program ini turut menggandeng TNI AL.
Pada tahun pertama, kegiatan ini menyambangi titik jalur rempah di Indonesia barat, dari Surabaya, Makassar, Baubau dan Buton, Ternate dan Tidore, Banda Naira, Kupang, dan kembali ke Surabaya.
Lalu pada MBJR 2024, setidaknya ada 150 Laskar Rempah yang terlibat, terdiri atas 75 peserta hasil seleksi terbuka dan 75 peserta undangan dari kalangan wartawan, pegiat budaya, penulis, serta influencer media sosial.
Para Laskar Rempah itu mengarungi tujuh titik perairan Jalur Rempah di Pulau Sumatera-Malaysia mulai dari Jakarta, Belitung Timur, Dumai, Saban, Malaka, Tanjung Uban, Lampung, dan berakhir di Komando Lintas Laut Militer (Kolinlamil), Jakarta Utara.
"Ini [MBJR] sebuah upaya untuk memperkenalkan kembali masyarakat Indonesia, mengintegrasikan kembali, tapak-tapak sejarah maritim kita yang sebetulnya sangat luar biasa," kata Dirjen Kebudayaan Kemendikbudristek Hilmar Farid dalam acara pelepasan MBJR 2024, diwartakan Antara, Jumat (7/6/2024).
Di samping sebagai ikhtiar menghidupkan akar tapak penemuan rempah serta jaringan maritim Indonesia, kegiatan ini sejatinya bisa mendorong rempah Indonesia menjadi komoditas unggulan secara global.
Pakar Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM) Djagal Wiseso Marseno mengatakan, peluang ekspor komoditas rempah-rempah Indonesia masih menjanjikan. Ini karena pasar herbal dan rempah-rempah kering global diprediksi akan terus meningkat.
"Pangsa pasarnya itu diperkirakan mencapai US$8,4 miliar pada akhir 2028," kata Djagal dalam keterangannya diberitakan Antaranews, Kamis (22/2/2024).
Potensi itu juga dimanfaatkan oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) yang membangun desa khusus pengembangan tanaman rempah, yakni Desa Devisa. Data terakhir, program ini sudah terbangun di 917 desa Indonesia pada 2023.
Penduduk desa diberi pendampingan dan pelatihan untuk mengembangkan rempah. Terdapat Desa Devisa Jahe Gajah di Pacitan, Desa Devisa Kapulaga di Pangandaran, hingga Desa Devisa Vanili di NTT. Program ini pun disebut telah memberikan manfaat langsung kepada 80.234 petani, nelayan, pengrajin, dan warga lokal yang terlibat.
“Kegiatan dilakukan berupa pendampingan untuk mengatasi hambatan ekspor komunitas, antara lain penguatan kelembagaan, peningkatan kapasitas produksi, prosedur ekspor, perizinan dan sertifikasi, serta akses pasar,” kata Kepala Divisi Jasa Konsultasi LPEI Sofyan Naibaho, dilansir dari laman resmi LPEI, Rabu (17/1/2024).
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia mengekspor tanaman obat, aromatik, dan rempah-rempah seberat 279,3 ribu ton pada 2022. China menjadi tujuan utama ekspor komoditas ini, volumenya mencapai 47,7 ribu ton atau setara 17,07% dari total ekspor nasional. Indonesia juga banyak memasok rempah-rempah ke India sebanyak 37,8 ribu ton, Thailand 22,58 ribu ton, hingga Amerika Serikat 14,79 ribu ton.
Beberapa komoditas rempah juga diproduksi oleh perkebunan rakyat Indonesia. Perkebunan rakyat merupakan perkebunan yang dikelola masyarakat secara mandiri, dikelompokkan ke dalam usaha kecil/usaha rumah tangga, dan umumnya menggunakan teknologi sederhana.
Tercatat, pada 2023 produksi cengkeh nasional sebanyak 134,1 ribu ton dan lada sebanyak 70,2 ribu ton. Keduanya masing-masing berkontribusi 0,47% dan 0,25% terhadap total produksi perkebunan rakyat secara nasional.
Adapun luas perkebunan rakyat Indonesia pada 2023 sebesar 17,5 juta hektare (ha). Dari luas tersebut, beberapa di antaranya ditanami tanaman rempah. Cengkeh ditanam pada lahan seluas 567,8 ha ribu; pala 270,1 ribu ha; dan lada 171,1 ribu ha. Luas areal perkebunan bumbu dapur ini setara 5,8% dari total luas perkebunan rakyat pada tahun lalu.
Dalam konteks yang lebih luas, pengakuan jalur rempah bukan hanya untuk komodifikasi sumber daya alam yang berlimpah, tetapi sebagai jalan pertukaran produk pengetahuan dan kebudayaan antara Indonesia dengan negara lain. Ini selaras dengan salah satu tujuan pemajuan kebudayaan dalam UU Nomor 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, yakni mempengaruhi arah perkembangan peradaban dunia, sehingga kebudayaan menjadi haluan pembangunan nasional.
Pengajuan pengakuan jalur rempah sebagai warisan dunia UNESCO masih terus dikembangkan Kemendikbudristek. Ini karena dokumen nominasi memerlukan sejumlah kajian akademis, mulai penguatan narasi hingga penyusunan rencana pengelolaan jalur rempah yang konkret. Upaya pengakuan tersebut pun bisa diperkuat dengan partisipasi publik dalam mengembangkan bahkan menginterpretasikan ulang jalur rempah.
Beberapa kegiatan yang bisa dikembangkan–dan sudah dipraktikkan di sejumlah daerah–misalnya dengan mengadakan pameran dan penulisan buku terkait cagar budaya, menghasilkan karya visual tentang pemetaan rempah, atau membangun lokakarya terkait makanan hingga minuman daerah yang melibatkan masyarakat lokal.