Kemenkes Ancam Cabut Izin Praktik Dokter dan RS Terlibat Fraud BPJS Kesehatan

Fauza Syahputra|Katadata
Petugas melayani warga yang mengurus kepesertaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan di Kantor Cabang Jakarta Selatan, Jakarta, Jumat (17/5/2024).
25/7/2024, 15.19 WIB

Kementerian Kesehatan menemukan delapan jenis fraud atau kecurangan dalam klaim BPJS di sejumlah rumah sakit atau RS. Inspektur Jenderal Kementerian Kesehatan, Murti Utami, menjelaskan kementerian bakal menghukum RS dan dokter terlibat dengan pencabutan izin praktik.

“Ini akan ditindaklanjuti dan juga akan diberi sanksi pada setiap individu seperti penundaan pengumpulan SKP (satuan kredit profesi) selama enam bulan sampai pencabutan izin praktik, pemutusan kerja sama antara RS dan BPJS,” kata Murti dalam diskusi media dengan Komisi Pemberantasan Korupsi, dilansir Kamis (25/7).

Ia menjelaskan, seorang dokter harus mencari kredit poin untuk menjaga kompetensinya. Biasanya, ia butuh 50 kredit untuk satu tahun. Bila Kemenkes membekukan pengumpulan SKP seorang dokter, syarat 50 kredit dalam satu tahun tidak akan tercapai.

Modus fraud pertama adalah phantom billing. Dengan metode ini, RS dan dokter melakukan klaim atas layanan kesehatan yang tidak pernah diberikan pada pasien. 

Kedua, modus phantom diagnosis manipulation yang memberikan klaim berbeda untuk memperoleh klaim lebih tinggi. Ketiga, modus self refferals yakni biaya pelayanan akibat rujukan ke RS tertentu atau ke dokter yg sama di fasilitas kesehatan lain, kecuali karena alasan fasilitas terbatas. 

Keempat, upcoding yakni mengubah kode diagnosis atau prosedur jadi tarif klaim lebih tinggi dari hal seharusnya. Kelima, repeat bililng atau klaim yang diulang di kasus yang sama.

Keenam, fragmentation, yakni RS dan dokter memberi paket pelayanan yang dipecah dalam satu proses sehingga mendapat nilai klaim yang besar dalam satu proses penanganan pasien. Ketujuh, suap dan gratifikasi. Terakhir, modus penarikan iuran biaya yang tidak sesuai dengan ketentuan.

Kasus serupa juga ditemukan oleh KPK dengan total temuan kecurangan Rp 34 miliar di tiga rumah sakit di Jawa Timur dan Sumatera Utara. Rinciannya fraud Rp 29 miliar di Jawa Tengah dan Sumatera Utara itu Rp 4 miliar dan Rp 1 miliar. 

Fraud ini menyeret berbagai pihak di rumah sakit, mulai dari pemilik RS, keluarganya, hingga dokter. Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan mengatakan salah satu rumah sakit melibatkan delapan orang aktor untuk melakukan fraud. Namun, modus yang dipakai adalah dengan bakti sosial.

Dalam bakti sosial dengan kepala desa ini, rumah sakit bisa mengumpulkan KTP dan nomor BPJS warga desa. Dari dua dokumen ini, mereka bisa merekayasa seolah-olah seorang warga punya sakit tertentu dan butuh penanganan khusus. Dokter lantas menandatangani anjuran ini sehingga penanganan bisa diklaim dengan BPJS.

“Lalu, ini yang paling susah, membuat dan menandatangani rekam medis, resume medis, catatan program pasien, pemeriksaan penunjang, itu lengkap semua. Baru dia sampaikan klaim,” ujar Pahala.

Sekarang, kasus sudah masuk ke dalam tahap penindakan karena indikasi dan buktinya sudah cukup. Pahala bilang, proses penyelidikan bisa jadi dilakukan oleh kejaksaan atau KPK, namun keputusan itu diserahkan pada pimpinan KPK.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan nomor 19 tahun 2016, rumah sakit yang melakukan fraud pada BPJS Kesehatan bisa mengembalikan dana dari klaim fiktif ditambah denda tanpa ancaman pidana. Namun KPK memberi kesempatan perbaikan klaim selama enam bulan bagi rumah sakit terkait.

“Kalau ada melakukan phantom billing dan medical diagnose tidak tepat, itu ngaku saja. Sesudah enam bulan, nanti tim bersama-sama melakukan audit secara masif atas klaim BPJS Kesehatan dan BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan),” ujar Pahala.

Reporter: Amelia Yesidora