LBH PP Muhammadiyah Sempat Bikin Kajian Jatah Tambang, Ungkap 3 Catatan Negatif

ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah/nz
Massa yang tergabung dalam Forum Cik Di Tiro melakukan aksi di depan Universitas Aisyiyah, Sleman, DI Yogyakarta, Sabtu (27/7/2024).
29/7/2024, 22.12 WIB

Pimpinan Pusat Muhammadiyah akhirnya menerima tawaran izin usaha pertambangan atau IUP dari Presiden Joko Widodo. Keputusan ini diambil setelah sebelumnya dengan tegas menolak tawaran tersebut, berbeda dengan Nahdlatul Ulama yang dari awal menerima tawaran.

Juni lalu, Lembaga Bantuan Hukum dan Advokasi Publik atau LBH AP PP Muhammadiyah mengeluarkan legal opinion terkait dasar hukum pemberian IUP pada ormas.

Menurut mereka, Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024 yang dikeluarkan Jokowi ini punya tiga kontroversi. Mereka bahkan khawatir bakal ada penjarahan sumber daya besar-besaran.

 “Bahwa dengan diterimanya, IUP untuk ormas keagamaan dikhawatirkan, akan terjadi penjarahan besar-besaran terhadap potensi sumber daya alam untuk kepentingan oligarki,” kata legal opinion LBH AP PP Muhammadiyah, dilansir Senin (29/7).

Namun, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Muti menampik pernyataan tersebut. “Itu bukan pendapat resmi organisasi,” ujarnya pada Katadata.co.id, Senin (29/7).

 Berikut tiga kontroversi yang tertulis dalam legal opinion tersebut:

A. Melanggar Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 36/PUU-X/2012.

Putusan ini muncul dari Muhammadiyah yang mengajukan permohonan Uji Materi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Dalam putusan itu, MK memberi tafsir konstitusional atas makna penguasaan negara sumber daya alam sebagai berikut:

  1. Penguasaan negara peringkat pertama dan yang paling penting adalah negara melakukan pengelolaan secara langsung atas sumber daya alam, sehingga negara mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari pengelolaan sumber daya alam.
  2. Penguasaan negara pada peringkat kedua adalah negara membuat kebijakan dan pengurusan
  3. Fungsi negara dalam peringkat ketiga adalah fungsi pengaturan dan pengawasan.

B. Melanggar Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba

Dalam Pasal 75 ayat 4 UU 3/2020, dituliskan bahwa badan usaha swasta mendapatkan IUPK dengan cara lelang Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus atau WIUPK.

C. Tiada Kriteria Hak IUPK

LBH AP PP Muhammadiyah menyoroti PP 25/2024 tidak menjelaskan kriteria penerima IUPK prioritas. Mereka khawatir banyak ormas keagamaan yang dibentuk hanya untuk mendapat IUPK dari pemerintah, sementara di belakangnya tetap oligarki atau penguasa.

 Muhammadiyah juga sudah menunjuk 10 orang tim pengelola tambang Muhammadiyah yang terdiri atas:

  1. Prof. Dr.H. Muhadjir Effendy, M.AP. (Ketua),
  2. Muhammad Sayuti, M.Pd., M.Ed., Ph.D.(Sekretaris)
  3. Dr. H. Anwar Abbas, M.M., M.Ag., (Anggota)
  4. Prof. Hilman Latief,M.A., Ph.D., (Anggota)
  5. Dr. H. Agung Danarto, M.Ag., (Anggota)
  6. Drs. H. Ahmad Dahlan Rais, M.Hum., (Anggota)
  7. Prof. Dr. Bambang Setiaji, M.Si., (Anggota)
  8. Dr. Arif Budimanta, (Anggota)
  9. Dr. M. Nurul Yamin, M.Si., (Anggota)
  10. M. Azrul Tanjung, S.E., M.Si. (Anggota)

Pihak Muhammadiyah juga mengaku berkomitmen menjadikan tambang ini menjadi model usaha non profit. Keuntungan usaha bakal dimanfaatkan untuk mendukung dakwah dan amal usaha Muhammadiyah dan masyarakat luas.

Langkah Muhammadiyah Dikritik

Anggota DPR Komisi VII Fraksi Partai Keadilan Sejahtera atau PKS, Mulyanto, menyayangkan keputusan Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah yang akhirnya menerima tawaran pengelolaan tambang batu bara dari pemerintah.

Mulyanto khawatir keputusan ini mencederai harapan masyarakat terhadap kemandirian dan independensi Muhammadiyah di hadapan pemerintah.

 "Saya terkejut dengan keputusan tersebut. Tidak biasanya Muhammadiyah membuat keputusan di luar harapan masyarakat,” kata Mulyanto dalam siaran pers, dikutip Senin (29/7).

 Menurut Mulyanto, Muhammadiyah dan para tokohnya biasanya cukup kritis terhadap kebijakan pemerintah, apalagi kebijakan yang terjadi pro-kontra di dalam masyarakat.  Namun dia menilai masyarakat akan menangkap sinyal Muhammadiyah mendukung kebijakan tersebut.

 "Tentu ini akan ada resiko politiknya, baik dari sisi internal, dari sisi masyarakat, maupun relasi dengan kekuasaan," ujarnya.

Reporter: Amelia Yesidora